Dinarasikan Abu Hurairah, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia” mereka pun mencintanya, kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari, bab Dzikrul Malâikah, nomor 3037]
Dalam buku Shaidul Khâthir, diary yang berisi catatan-catatan renungannya, Ibnul Jauzi mengingatkan, “Amalan
di tempat sepi memiliki banyak pengaruh di tempat ramai. Tak sedikit
orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla memuliakan-Nya di
tempat-tempat yang sepi dan meninggalkan sesuatu yang disenanginya
karena takut pada siksa-Nya, berharap pahala-Nya atau segan
terhadap-Nya.”
Orang yang melakukan amalan di tempat
sepi dan ketika menyendiri, lanjut Ibnul Jauzi, ibarat orang yang
memasukkan kayu gaharu ke dalam perapian, lalu ia menyebarkan aroma
wangi nan mengharumkan, yang tercium oleh banyak orang, meski mereka
sama sekali tidak mengetahui dari mana sumbernya. Wangi atau tidaknya
kayu gaharu itu bergantung dari tingkat kesungguhan dalam meninggalkan
apa-apa yang disenangi dan kuat-lemahnya kemampuan menjauhi hal-hal
yang dicintai.
Itulah keshalihan haqiqi, dan buah dari keikhlasan, serta ta’zhim
(pengagungan) seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Semakin tinggi
kualitas iman dan keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula
kecintaan manusia kepadanya, disadari atau tidak, dikehendaki atau
tidak. Balasan yang Allah berikan itu setara, bahkan lebih baik dari
amal hamba-hamba-Nya.
Cinta dari langit
Kita mungkin bertanya, apa yang membuat
manusia begitu mencinta mereka-mereka yang beramal dalam kesendirian
padahal mereka tidak mengetahuinya? Jawabannya adalah cinta itu dari
langit; Allah lah yang menebarkan cinta kepada Jibril, penghuni langit
dan juga penduduk bumi sehingga mereka semua mencintanya. Inilah yang
diisyaratkan oleh Rasul mulia, Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dalam salah satu sabdanya,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ نَادَى
جِبْرِيْلَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ
جِبْرِيْلُ فَيُنَادِيْ جِبْرِيْلُ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ
يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ
يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ )
Dinarasikan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia.” Kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari].
Makna, “ia pun diterima di bumi”, menurut DR. Mushthafa Dib al Bugha adalah “al mahabbatu fi qulûbi man ya’rifuhu minal mu’minîna wa yabqa lahu dzikrun shâlihun wa tsanâ’un hasanun, ia dicintai oleh orang-orang mukmin yang mengenalnya, dan disebut serta dipuji dengan sebutan dan pujian yang baik.”
Inilah salah satu kunci dan rahasia
amalan-amalan dalam kesendirian; semakin ikhlas seorang hamba dalam
beramal ketika sepi dan sendiri, maka semakin besar pula cinta Allah
kepadanya. Maka renungkanlah wahai saudaraku, fokuskanlah dirimu untuk
memperbaiki hubunganmu dengan Allah, niscaya Dia akan mendatangkan
keajaiban-keajaiban tak berkesudahan.
Fakta dan realita
menjadi bukti terkuatnya. Betapa banyak mata yang mengagungkannya dan
lisan yang memujinya, padahal mereka tidak mengetahui penyebabnya dan
tidak mampu melukiskannya karena sangat jauhnya mereka dari hakikat
pengetahuannya.
Terkadang keharuman nama
orang-orang yang seperti ini tetap terjaga hingga sesudah kematiannya.
Sebagian dari mereka dibicarakan namanya dalam waktu yang sangat lama,
namun kemudian dilupakan. Sebagian disebut-sebut kebaikannya selama 100
tahun, lalu nama dan kuburannya tak lagi diingat orang. Sebagian mereka
lagi ada yang menjadi tokoh hingga namanya diingat sepanjang masa,
padahal sudah ribuan tahun ia di kuburkan.
Kegembiraan orang mukmin
Suatu ketika, sebagaimana dinarasikan oleh Abu Dzar Radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang lelaki yang melakukan sebuah amal kebaikan, lalu manusia memujinya?” beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang mukmin.” [HR. Muslim, bab Idzâ atsnâ ‘alash shâlihi fa hiya busyrâ, nomor 2642].
Maksud, “Itu adalah kabar gembira
bagi orang mukmin yang disegerakan”, menurut para ulama sebagaimana
dinukil oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, adalah bahwa ini merupakan
bukti ridha dan cinta Allah Ta’ala kepadanya, sehingga Dia menjadikan
manusia mencintainya. [Qâlal ‘ulamâ ma’nâhu hâdzal busyrâ al
mu’ajjalah lahu bil khair, wa hiya dalilul busyra al muakhkharah ilal
âkhirah bi qaulihi, ‘Busyrâkumul yauma jannâtun…..al âyah.” wa hâdzihil
busyrâ al mu’ajjalah dalîlun ‘ala ridhallâhi Ta’âlâ ‘anhu wa
mahabbatihi lahu fa yuhabbibuhu ilal khalqi].
Pujian ini, sekali lagi, bahkan lebih
baik dari pada amal hamba tersebut. Terlalu sering kita mendapati
pengakuan mereka, orang-orang yang ikhlash dalam beramal, bahwa pujian
manusia terlalu berlebihan; karena amal yang mereka lakukan tidak
sebaik yang diperkirakan pemujinya, keshalihan mereka pun tidak sehebat
yang disangkakan pemujanya. Hingga mereka selalu berdoa dalam
munajatnya, “Allahumma lâ tuâkhidnî bi mâ yaqûlûna wa-j’alnî khairan mimmâ yazhunnûn, Duh
Allah, janganlah Engkau memberikan hukuman kepada hamba disebabkan apa
yang mereka ucapkan dan jadikanlah hamba lebih baik dari apa yang
mereka sangkakan.”
Itulah keunikan dan ciri khas
orang-orang ikhlash; semakin dipuji semakin takut dan khawatir amalnya
tidak diterima. Ini tentu karena tingginya pengetahuan mereka terhadap
Allah Ta’ala; betapa maha dermawan dan pemurahnya Allah Ta’ala yang
menutupi aib-aib hambanya, dan mengampuni sebagian besar kesalahan
mereka.
Ah, alangkah bijaknya kekata Malik bin Dinar. Katanya, “Semenjak kenal manusia, aku tidak senang pujian mereka, dan juga tidak benci celaan mereka.” Ada yang bertanya, “Kenapa bisa demikian?” beliau menjawab, “Karena mereka yang memuji itu berlebih-lebihan dan mereka yang mencela itu terlalu meremehkan.” (Shifatus Shafwah : III/276 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 360, hlm. 220).
Keteladanan para salaf
Berbicara tentang gemar menyembunyikan
amal dalam kesendirian, atau menjaga keikhlasan sebelum-saat-sesudah
beramal, maka kita tidak bisa menafikan teladan para salaf yang
mendahului kita. Mereka lah sebaik-baik teladan yang wajib kita ikuti.
Inilah Hassan bin Sinan.
Istrinya pernah bercerita, “Hasan datang, dan masuk ke ranjangku ketika
hendak tidur, lalu ia menipuku sebagaimana seorang ibu menipu anaknya.
Jika ia sudah tahu bahwa aku tidur, ia bangkit kemudian shalat malam.”
Inlah Dawud bin Abu Hind.
Ia berpuasa selam 40 tahun tetapi keluarga dan orang-orang pasar tidak
mengetahuinya, padahal ia adalah seorang pedagang. Ia membawa makan
paginya lalu disedekahkan, sehingga keluarganya mengira bahwa ia
memakannya di pasar, sementara orang-orang pasar menyangka bahwa ia
sudah makan bersama keluarganya.
Inilah Rabi’ bin Khutsaim, tabi’in agung yang pernah dipuji oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya Rasulullah melihatmu, beliau pasti mencintamu.”
Dinarasikan oleh Bakar bin Ma’iz, sebagaimana diabadikan oleh Ibnul
Jauzi dalam Shifatus Shafwah, bahwa ia berkata, “Rabi’ tidak pernah
terlihat shalat sunah di masjid masyarakat kampungnya kecuali hanya
sekali seumur hidupnya.” Pengakuan lain tentang keikhlasan Rabi’ juga
berasal dari budaknya. Katanya, “Sesungguhnya amal perbuatan Rabi’
seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang,
sementara dia tengah membaca al Qur’an, dia segera menutupi mushafnya
dengan bajunya.”
Kisah serupa juga dilakukan oleh
Ibrahim an Nakha’i. al A’masy meriwayatkan, “Aku berada di sisi Ibrahim
yang sedang membaca mushhaf, kemudian ada orang yang meminta izin untuk
bertemu, lalu beliau menutup mushhafnya, dan berkata, “Agar dia tidak mengira bahwa saya membaca setiap saat.” (Shifatus Shafwah : III/87 dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 274, hlm. 169)
Yang lebih menakjubkan lagi,
tentunya kisah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, keponakan
shahabat Ali dan cicit Nabi Muhammad. Syaibah bin Na’amah berkata, “Ali
bin Husain dulu dikenal pelit, tetapi ketika meninggal dunia, manusia
mendapati beliau menghidupi 100 keluarga di Madinah.” (Shifatus Shafwah
: II/96 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 116, hlm. 81).
Dalam ranah intelektualitas, Imam Asy-Syafi’I pernah berkata, “Wadidtu annal khalqa ta’allamû hâdzâ, ‘alâ an lâ yunsaba ilayya harfun minhu, aku ingin semua manusia belajar ini, hanya saja tidak ada satu huruf pun yang dinisbatkan kepadaku.”
Mereka jujur bersama Allah, sehingga
ini membuat Allah mencintainya. Sebagai balasannya, Allah pun membuat
Jibril, penghuni langit dan penduduk bumi mencintainya. Maka kaidah
terpenting dalam masalah ini adalah fokuskanlah dirimu dalam
memperbaiki hubungan dirimu dengan Allah, dan hadapkanlah hatimu hanya
kepada-Nya semata, niscaya Dia akan menghadapkan hati segenap hamba-Nya
kepadamu. Bahkan tidak hanya itu, Allah pun memberikan bonus lagi; Dia
akan memperbaiki hatimu. Hudzaifah bin Qatadah al Mar’asyi berkata, “Jika kamu mentaati Allah dalam kesendirian, Dia akan memperbaiki hatimu, baik kamu berkehendak atau tidak.” (Shifatus Shafwah : IV/270 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 593, hlm. 347).
Hati-hati dengan maksiat ketika menyendiri
Sebagian orang kebalikan dari
orang-orang di atas; mereka takut pada makhluk dan tidak memuliakan
Allah kala menyendiri. Sedikit-banyaknya dosa mereka menjadi ukuran
parah-tidaknya kebusukan bau mereka di mata manusia, dan parameter
kebencian mereka kepadanya. Jika dosa yang dilakukannya tidak seberapa,
lisan yang membicarakan kebaikannya juga tidak seberapa, dan yang
tersisa cuma penghormatan kepadanya. Namun kalau dosa yang
dikerjakannya terlalu banyak, yang sering terjadi adalah diamnya
orang-orang dalam menghadapinya; mereka tidak memujinya namun tidak
pula mencelanya.
Perbuatan yang dikerjakan di tempat
sepi sangat sering menjerumuskan pelakunya ke jurang kehinaan, kerugian
dan kesengsaraan, di dunia dan di akherat. Kehinaan karena ia akan
melahirkan rasa malu, baik kepada orang shalih maupun kepada Allah, dan
tentunya menjadikan dirinya dibenci oleh orang-orang mukmin, entah
disadari atau tidak. Kerugian karena ia bisa melenyapkan pahala yang
menggunung lantaran sia-sia dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala.
Kesengsaraan karena ia mampu merubah pandangan manusia; dikiranya
termasuk penghuni surga karena amalannya tetapi dia ternyata menjadi
penghuni neraka. Adakah yang lebih berat dari ini semua? Maka,
berhati-hatilah, jangan meremehkan kemaksiatan, sekecil apapun itu,
karena timbangan Allah mampu menimbang amalan sebutir pasir, sekalipun.
Tentang kebencian dan efek negatif yang didapatkan oleh orang yang gemar bermaksiat dalam kesendiriannya, Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu
pernah mengatakan, “Seorang hamba melakukan dosa di tempat sepi, lalu
Allah menjadikannya dibenci oleh orang-orang yang beriman tanpa ia
sadari.” [baca artikel terkait berjudul; mengeja balasan setiap perbuatan].
Lebih dari itu, kemaksiatan dalam
kesendirian terkadang bisa melenyapkan pahala yang menggunung. Tentang
orang yang shalih dalam keramaian tetapi berhati busuk dalam
kesendirian, Rasulullah pernah mengingatkan,
“Sungguh aku tahu ada sekelompok dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan kebaikan-kebaikan semisal gegunungan Tihamah yang berwarna putih, tetapi Allah menjadikannya debu yang beterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya, “Ya Rasûlallah, sifatkanlah mereka untuk kami, agar kami tidak seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Mereka adalah saudara kalian, dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja mereka adalah orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah dalam kesendiriannya.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Yang lebih mengejutkan lagi adalah
kekhawatiran kita bila kemaksiatan yang dilakukan ketika menyendiri itu
menyeret kita kepada su’ul khatimah, dan menempatkan kita ke
seburuk-buruk tempat di akherat. Wal iyadzu billah. Rasulullah bersabda,
فَوَالَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ
لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ
بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا
إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Demi Dzat yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli surga hingga tiada jarak antara dia dengan surga kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahuluinya (bahwa ia termasuk penghuni neraka) lalu dia beramal dengan amalan penghuni neraka (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya. Dan salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli neraka hingga tiada jarak antara dia dengan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahulinya (bahwa ia termasuk penghuni surga) lalu dia beramal dengan amalan penghuni surga (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya.” (HR. Muslim, bab Kaifiyyatul Khalqi al Adami fi Bathni Ummihi, nomor 2643, Juz IV, hlm. 2036)
Sebagai kata penutup, kiranya kita
harus belajar lebih peka lagi dalam mengeja dan membaca balasan atas
amalan-amalan yang kita lakukan, kebaikan dan keburukannya, ketaatan
dan kemaksiatannya, agar kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tiada secuil
pun amalan kecuali pasti mendapatkan balasan. Wallahu A’lam bis Shawwab.
Ya Allah, selalu, berikanlah hidayah
dan inayah-Mu kepada kami untuk senantiasa menambah ilmu, kemudian
mengamalkannya agar kami tidak termasuk kaum yang Engkau murkai, dan
tidak pula termasuk kaum yang tersesat. Aamiin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar