Hang Tuah adalah seseorang pahlawan legendaris dari bangsa Melayu pada masa pemerintahan Sultan Melaka di abad ke-15 (Kerajaan Melaka bermula pada 1400-1511 A.D}. Dia adalah Laksamana yang terhebat, atau pujian daripada Sultan, dan petarung yang berjaya. Pada masa mudanya, Hang Tuah beserta empat teman seperjuangannya, Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu membunuh sekelompok bandit-bandit dan dua orang yang berjaya menghancurkan desa dengan amarahnya. Bendahara (sederajat dengan Perdana Menteri dalam sistem pemerintahan sekarang) daripada Melaka mengetahui kehebatan mereka dan mengambil mereka untuk berkerja di istana.
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit dan dihadiahkan dengan sebuah keris (senjata kuno tetapi sakti). Sebuah keris dinamakan “Taming Sari”, setelah menjadi kepunyaannya dan dipercayakan bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat di situ menjadi kacau-bilau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya di dalam pertarungannya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.
Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah adalah “Tak Melayu hilang di dunia” yang berarti bangsa Melayu tidak akan pernah punah.
Nama Hang Tuah pernah diberikan pada salah satu kapal perang Indonesia, yaitu KRI Hang Tuah. Nama Hang Tuah juga digunakan untuk beberapa institusi pendidikan kemaritiman, antara lain Universitas Hang Tuah di Surabaya serta Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran Hang Tuah di Kediri Jawa Timur.
Hikayat Hang Tuah - Hikayat Laksamana Hang Tuah ini telah melegenda di masyarakat Melayu baik itu di Semenanjung, Kepulauan Riau, maupun Riau Daratan. Banyak simpang siur cerita Hikayat Hang Tuah ini, antara sejarah dan mitos. Maka saya mencoba menghadirkan Hikayat Hang Tuah dari Berbagai Versi.
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan saya, karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.
Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Sultan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka bermula pada 1400-1511 A.D). Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampong Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D. Bapanya bernama Hang Mahmud manakala ibunya pula ialah Dang Merdu Wati. Bapanya juga pernah menjadi hulubalang istana yang handal suatu ketika dulu, begitulah juga ibunya yang merupakan keturunan dayang di istana. Hang Tuah ialah Laksamana yang terkenal dengan kesetiaannya kepada Raja dan merupakan petarung silat yang amat handal dan tiada tolok bandingnya.
Hang Tuah dan empat orang kawannya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu menuntut ilmu bersama Adiputra di Gunung Ledang. Hang Tuah telah jatuh cinta pada Melor, anak orang asli yang tinggal di Gunung Ledang dan menjadi pembantu Adiputra. Selesai menuntut ilmu, mereka berlima kembali ke kota Melaka. Pada suatu hari, mereka berjaya menyelamatkan Dato' Bendahara (iaitu Perdana Menteri) daripada seorang lelaki yang sedang mengamok. Dato' Bendahara kagum dengan ketangkasan mereka dan menjemput mereka semua ke rumahnya dan seterusnya mengambil mereka untuk bertugas di istana. Sejak itu Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya amat disayangi oleh Sultan hinggalah Hang Tuah mendapat gelar Laksamana. Semasa mengiringi Sultan Melaka ke Majapahit di tanah Jawa, Hang Tuah telah berjaya membunuh seorang pendekar Jawa bernama Taming Sari.
Dalam pertarungan itu Taming Sari, seorang pendekar yang kebal yang tidak dapat dilukakan. Tetapi Hang Tuah mengetahui bahawa kekebalan Taming Sari terletak pada kerisnya. Oleh itu Hang Tuah berjaya merampas keris berkenaan dan membunuh Taming Sari. Keris itu kemudiannya dianugerahkan oleh Betara Majapahit kepada Hang Tuah. Pemilik keris ini akan turut menjadi kebal seperti pendekar Jawa Taming Sari. Hang Tuah telah diutuskan ke Pahang bagi mendapatkan Tun Teja untuk dijadikan permaisuri Sultan Melaka. Ketika Hang Tuah ke Pahang, Melor turun dari Gunung Ledang mencari Hang Tuah.
Melor telah ditawan oleh Tun Ali atas hasutan Patih Karma Vijaya bagi dijadikan gundik Sultan. Atas muslihat Tun Ali juga, Hang Tuah yang kembali dari Pahang akhirnya dapat berjumpa Melor, tetapi Sultan juga turut menyaksikan perbuatan Hang Tuah itu. Melor dan Hang Tuah dihukum bunuh kerana difitnah berzina dengan Melor yang telah menjadi gundik Sultan. Namun, hukuman mati tidak dilaksanakan oleh Bendahara sebaliknya Hang Tuah disembunyikannya di sebuah hutan di Hulu Melaka. Hang Jebat telah dilantik oleh Sultan menjadi Laksamana menggantikan Hang Tuah dan keris Taming Sari telah dianugerahkan kepada Hang Jebat. Hang Jebat sebagai sahabat karib Hang Tuah, menyangka bahawa Hang Tuah telah teraniaya dan telah menjalani hukuman mati.
Hang Jebat (menurut Hikayat Hang Tuah) atau Hang Kasturi (menurut Sejarah Melayu), bertindak derhaka kepada Sultan dan mengambil alih istana. Tidak ada pendekar atau panglima di Melaka yang dapat menentang Hang Jebat (atau Hang Kasturi) yang telah menjadi kebal kerana adanya keris Taming Sari di tangannya. Sultan Mahmud terpaksa melarikan diri dan berlindung di rumah Bendahara. Pada masa itu baginda baru menyesal kerana membunuh Hang Tuah yang tidak bersalah. Inilah masanya Bendahara memberitahu yang Hang Tuah masih hidup. Hang Tuah kemudiannya telah dipanggil pulang dan dititahkan membunuh Hang Jebat.
Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah akhirnya berjaya merampas semula Taming Sarinya daripada Hang Jebat dan membunuhnya. Dalam pertarungan yang sedih ini, Hang Jebat telah cuba membela sahabatnya yang telah difitnah. Namun begitu, Hang Tuah telah membantu sultan yang sebelum itu menghukumnya tanpa sebarang alasan. Sedangkan Abu Bakar Siddiq R.A juga berkata kepada orang Muslim bahawa jika dia bersalah, rakyat boleh menjatuhkannya.
Ternyata, kesilapan Hang Tuah yang tidak berfikir bahawa Allah S.W.T lebih berkuasa dari sultan dan memang tidak salah Hang Jebat cuba menegakkan kebenaran. Tragedi ini masih menjadi perbalahan orang melayu sampai sekarang. Namun begitu, ada juga yang menyokong Hang Tuah. Ini kerana Hang Jebat bukan saja derhaka kepada sultan bahkan telah membunuh ramai orang/rakyat Melaka yang tidak berdosa dengan mengamuk di dalam istana dan seluruh Melaka. Tindakan Hang Tuah yang membunuh Hang Jebat mungkin satu tindakan yang berupa hukuman mati terhadap pembunuh. Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah ialah "Tak Melayu hilang di dunia" yang bererti suku Melayu tidak akan punah di bumi ini. "Hikayat Hang Tuah" merupakan sebuah cerita hikayat Melayu yang menggambarkan dengan terperinci keadaan semasa sewaktu tersebut.
Hikayat Hang Tuah telah disifatkan oleh pengkaji sebagai menggambarkan tiga zaman yang ditempuhi oleh bangsa Melayu iaitu zaman permulaan, zaman kegemilangan, dan zaman kejatuhannya. Terdapat pertelingkahan mengenai sama ada Hang Tuah benar-benar wujud, ataupun hanya dongengan semata-mata. Ini disebabkan tempoh yang dirangkumi dalam Hikayat Hang Tuah agak lama. Selain itu terdapat pertelingkahan dalam beberapa kitab lain mengenai jalan cerita hikayat Hang Tuah. Masalah ini bukannya satu masalah yang besar dan merupakan satu perkara biasa bagi tokoh silam, sama seperti permasalahan tokoh Raja Arthur atau, tokoh Robin Hood dalam legenda Inggris.
Judul: Hikajat Hang Tuah
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (Cetakan ke-3, 1956)
Tebal: 511 halaman
***
NAMA Hang Tuah bisa dipastikan tak asing di telinga banyak orang. Sama halnya dengan banyak tokoh yang dianggap berperan dalam sejarah bangsa ini, nama Hang Tuah pun diabadikan pada ruas-ruas jalan di Jakarta dan di beberapa daerah lain lagi. Bahkan, nama Hang Tuah juga diabadikan pada kapal perang pertama milik Indonesia. Pemberian nama itu untuk mengenang kejayaan Hang Tuah yang selalu mencapai kemenangan di laut. Namun, tidak seperti tokoh-tokoh bersejarah lainnya, tak banyak yang tahu siapa Hang Tuah yang diabadikan namanya itu? Apa perannya dalam sejarah negeri ini?
Memang, bisa dikatakan, keterangan tentang siapa dan apa kiprah Hang Tuah tidak ditemukan dalam literatur-literatur sejarah. Beberapa waktu lalu pernah diangkat kisah-kisah tokoh melayu, termasuk Hang Tuah ini, dalam berbagai versi seperti sandiwara radio maupun tayangan sinema di televisi. Tetap saja, Hang Tuah hanya dikenal sebatas tokoh terkenal dari daerah Melayu.
Tak banyak yang tahu kisah Hang Tuah yang dituliskan dalam sebuah buku berjudul Hikajat Hang Tuah tercatat sebagai karya sastra melayu klasik yang paling panjang. Salah satu versi Hikajat Hang Tuah adalah setebal 593 halaman. Buku berisikan Hang Tuah ini dikenal sejak abad ke-18, dan sejak saat itu disebutkan sangat menarik perhatian para peneliti barat. Hikajat Hang Tuah kemudian sangat terkenal, terbit dalam berbagai versi, dan sekitar 20 buku tersimpan di berbagai perpustakaan di dunia.
PADA buku Hikajat Hang Tuah terbitan Balai Pustaka, kisah tokoh yang di Malaysia dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional ini diuraikan dalam 24 bab panjang. Pada pengantar disebutkan, buku tersebut disalin dari salah satu naskah tulis tangan huruf Arab. Pada sampul bagian dalam tertulis: "Inilah hikajat Hang Tuah jang amat setiawan kepada tuannja dan terlalu sangat berbuat kebadjikan kepada tuannja".
Kisah dimulai dengan bab yang menguraikan asal muasal raja-raja di Malaka atau Melayu. Dengan diantar oleh kata-kata: "Sekali peristiwa...", diceritakan tentang seorang raja keinderaan (kayangan-Red) Sang Pertala Dewa, yang akan mempunyai seorang anak dan dia akan menjadi raja di Bukit Seguntang. Keturunan-keturunan sang dewa inilah dengan segala kemuliaan yang dimiliki kemudian menjadi raja-raja di tanah Melayu.
Hang Tuah diceritakan sebagai anak Hang Mahmud. Dikisahkan, setelah mendengar kabar gembira tentang negeri Bintan sudah mempunyai seorang raja yang tak lain adalah cucu dari Sang Pertala Dewa, Hang Mahmud pun bergegas mengajak istri dan anaknya pindah ke sana. Di Bintan, Hang Tuah muda bertemu dan bersahabat dengan Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Kelima pemuda itu diceritakan selalu bersama-sama, seperti lima orang bersaudara.
Suatu hari, Hang Tuah mengusulkan pada keempat sahabatnya untuk pergi berlayar dan merantau bersama-sama. Empat sahabatnya pun setuju, dan mereka berangkat berlayar. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dan menundukkan tiga perahu yang ternyata adalah musuh Bintan dari Siantan. Kawanan tersebut tak lain adalah kaki tangan Patih Gajah Mada dari Majapahit yang ingin memperluas kekuasaan dengan merompak di Tanah Palembang. Akhirnya, lima sekawan itu diangkat menjadi abdi salah seorang pemimpin di negeri Bintan, yang dipanggil Bendahara Paduka Raja. Dari sinilah kisah perjuangan Hang Tuah yang akhirnya justru mendapat gelar laksamana dari Raja Majapahit dimulai.
Dalam buku, terutama melalui tokoh Hang Tuah dan Patih Gajah Mada, dikisahkan adanya persaingan kejayaan antara Malaka dan Majapahit. Gajah Mada tidak digambarkan sebagai tokoh yang mulia ataupun bijaksana. Ia digambarkan dalam sosok yang begitu berkuasa dan ambisius. Beberapa kali ia menyusun rencana untuk menghabisi Hang Tuah yang dianggap sebagai batu penghalang rencananya untuk menguasai Malaka. Berbicara soal musuh, dalam menjalankan tugas sebagai abdi yang setia dan disegani, Hang Tuah pun di negerinya sendiri beberapa kali harus dibuang bahkan hendak dibunuh akibat fitnah. Fitnah itu sebegitu rupa sehingga salah seorang sahabatnya, yaitu Hang Jebat, pun berkhianat.
Hang Tuah memang membawa Malaka pada kejayaan. Tidak hanya ia berhasil membendung serangan dari Majapahit. Ke mana saja ia diutus dan apa pun tugas yang diemban, selalu membuahkan hasil. Namun, dengan masuknya orang-orang dari Eropa, terutama Belanda, akhirnya kejayaan Malaka dihancurleburkan. Pada bagian akhir dikisahkan, Malaka jatuh ke tangan orang-orang dari Johor dan Belanda. Hang Tuah sendiri dikisahkan masih hidup dan tinggal di negeri Batak, menjadi wali agama dan raja.
DEMIKIAN cuplikan kisah tokoh bernama Hang Tuah dari salah satu versi terbitan Balai Pustaka. Tak ada yang tahu, siapa sesungguhnya pengarang Hikajat Hang Tuah. Tahun persis kapan pertama kali kisah ini muncul pun hingga kini tak bisa dipastikan. Tak ubahnya karya-karya sastra kuno umumnya, kisah Hang Tuah ini pun diduga pertama kali dikenal berupa cerita lisan. Kemudian, dalam bentuk naskah tertulis, Hikajat Hang Tuah diduga pertama kali ditulis pada abad ke-16.
Menurut Prof Dr Sulastin Sutrisno (lihat Ketika Hang Tuah Menjadi Disertasi) yang pernah mengangkat Hikajat Hang Tuah menjadi sebuah disertasi, siapa pengarang sesungguhnya memang sulit dipastikan. Namun, yang jelas, karya tersebut mengundang kekaguman sendiri. Sebagai sebuah kisah fiktif, Hikajat Hang Tuah sarat dengan muatan sejarah. Nama-nama kerajaan dan tokoh memang lekat dengan apa yang tercantum dalam catatan-catatan sejarah. Bahkan ada dugaan, pengarang Hang Tuah tidak hanya berpengetahuan luas karena sarat dengan muatan sejarah, namun juga banyak menggunakan sumber sastra lain. Dugaan ini muncul karena pada beberapa bagian, terdapat kemiripan dengan cerita-cerita klasik lain seperti Kisah Panji, Hikajat Sri Rama, dan sebagainya.
Salah seorang ahli sastra, Sir Richard Windstedt, menyebutkan, karya sastra klasik seperti Hikajat Hang Tuah ini identik dengan syair-syair bermuatan kisah kepahlawanan yang banyak dihasilkan di Jawa pada abad ke-11. Karya-karya ini dikatakan mengubah sejarah menjadi mitos, atau sebaliknya mengubah mitos menjadi sejarah. Dalam Hikajat Hang Tuah, nuansa fiktif maupun mitos di antaranya terwakili melalui ketiadaan keterangan waktu dalam setiap peristiwa, kehadiran negeri kayangan yang dipimpin Sang Pertala Dewa maupun perubahan wujud Hang Tuah menjadi harimau dalam sebuah perkelahian (hal 164).
Tokoh Hang Tuah sendiri pun tak bisa dipastikan sebagai tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam Sejarah Melayu (Malay Annals) disebutkan Hang Tuah mati di abad ke-15. Kitab tersebut, Sejarah Melayu-disusun oleh Mansur Shah salah seorang penguasa di Malaka-yang mencantumkan riwayat Hang Tuah pun diragukan oleh berbagai kalangan. Sir Richard Winstedt menyebutkan, Mansur Shah, dalam Sejarah Melayu, mampu mengangkat legenda tentang seorang pejuang bernama Hang Tuah yang tumbuh saat terjadi perang antara Jawa dan Tamil. Akan tetapi, seperti dikatakan di atas, hampir tidak dapat dibedakan yang mana sejarah dan yang mana mitos. Namun, untuk tokoh seperti Hang Tuah, siapa lagi yang peduli bahwa itu mitos atau sejarah selama dia menjadi ilham etika publik?
Semasa ia bekerja di istana, Hang Tuah membunuh seseorang petarung dari Jawa yang terkenal dengan sebutan Taming Sari, yang di bawah pemerintahan Kerajaan Majapahit dan dihadiahkan dengan sebuah keris (senjata kuno tetapi sakti). Sebuah keris dinamakan “Taming Sari”, setelah menjadi kepunyaannya dan dipercayakan bahwa keris itu dapat berkuasa kepada pemiliknya untuk menjadi hilang.
Hang Tuah dituduh berzinah dengan pelayan Raja, dan di dalam keputusan yang cepat, Raja menghukum mati Laksamana yang tidak bersalah. Namun, hukuman mati tidak pernah dikeluarkan, karena Hang Tuah dikirim ke sesebuah tempat yang jauh untuk bersembunyi oleh Bendahara.
Setelah mengetahui bahwa Hang Tuah akan mati, teman seperjuangan Hang Tuah, Hang Jebat, dengan murka ia membalas dendam melawan raja, mengakibatkan semua rakyat di situ menjadi kacau-bilau. Raja menyesal menghukum mati Hang Tuah, karena dialah satu-satunya yang dapat diandalkan untuk membunuh Hang Jebat. Secara tiba-tiba, Bendahara memanggil kembali Hang Tuah daripada tempat persembunyiannya dan dibebaskan secara penuh daripada hukumannya oleh raja. Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah merebut kembali keris Taming Sarinya dari Hang Jebat, dan membunuhnya di dalam pertarungannya. Setelah teman seperjuangannya gugur, Hang Tuah menghilang dan tidak pernah terlihat kembali.
Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah adalah “Tak Melayu hilang di dunia” yang berarti bangsa Melayu tidak akan pernah punah.
Nama Hang Tuah pernah diberikan pada salah satu kapal perang Indonesia, yaitu KRI Hang Tuah. Nama Hang Tuah juga digunakan untuk beberapa institusi pendidikan kemaritiman, antara lain Universitas Hang Tuah di Surabaya serta Sekolah Menengah Kejuruan Pelayaran Hang Tuah di Kediri Jawa Timur.
Hikayat Hang Tuah - Hikayat Laksamana Hang Tuah ini telah melegenda di masyarakat Melayu baik itu di Semenanjung, Kepulauan Riau, maupun Riau Daratan. Banyak simpang siur cerita Hikayat Hang Tuah ini, antara sejarah dan mitos. Maka saya mencoba menghadirkan Hikayat Hang Tuah dari Berbagai Versi.
Pada suatu ketika ada seorang pemuda yang bernama Hang Tuah, anak Hang Mahmud. Mereka bertempat tinggal di Sungai Duyung. Pada saat itu, semua orang di Sungai Duyung mendengar kabar teng Raja Bintan yang baik dan sopan kepada semua rakyatnya.Ketika Hang Mahmud mendengar kabar itu, Hang Mahmud berkata kepada istrinya yang bernama Dang Merdu,”Ayo kita pergi ke Bintan, negri yang besar itu, apalagi kita ini orang yang yang miskin. Lebih baik kita pergi ke Bintan agar lebih mudah mencari pekerjaan.”Lalu pada malam harinya, Hang Mahmud bermimpi bulan turun dari langit. Cahayanya penuh di atas kepala Hang Tuah.
Hang Mahmudpun terbangun dan mengangkat anaknya serta menciumnya. Seluruh tubuh Hang Tuah berbau seperti wangi-wangian. Siang harinya, Hang Mahmud pun menceritakan mimpinya kepada istri dan anaknya. Setelah mendengar kata suaminya, Dang Merdu pun langsung memandikan dan melulurkan anaknya.Setelah itu, ia memberikan anaknya itu kain,baju, dan ikat kepala serba putih. Lalu Dang Merdu member makan Hang Tuah nasi kunyit dan telur ayam, ibunya juga memanggil para pemuka agama untuk mendoakan selamatan untuk Hang Tuah. Setelah selesai dipeluknyalah anaknya itu.Lalu kata Hang Mahmud kepada istrinya,”Adapun anak kita ini kita jaga baik-baik, jangan diberi main jauh-jauh.”Keesokan harinya, seperti biasa Hang Tuah membelah kayu untuk persediaan.
Lalu ada pemberontak yang datang ke tengah pasar, banyak orang yang mati dan luka-luka. Orang-orang pemilik took meninggalkan tokonya dan melarikan diri ke kampong. Gemparlah negri Bintan itu dan terjadi kekacauan dimana-mana. Ada seorang yang sedang melarikan diri berkata kepada Hang Tuah,” Hai, Hang Tuah, hendak matikah kau tidak mau masuk ke kampung.?”Maka kata Hang Tuah sambil membelah kayu,”Negri ini memiliki prajurit dan pegawai yang akan membunuh, ia pun akan mati olehnya.”Waktu ia sedang berbicara ibunya melihat bahwa pemberontak itu menuju Hang Tuah samil menghunuskan kerisnya.
Maka ibunya berteriak dari atas toko, katanya,”Hai, anakku, cepat lari ke atas toko!”Hang Tuah mendengarkan kata ibunya, iapun langsung bangkit berdiri dan memegang kapaknya menunggu amarah pemberontak itu. Pemberontak itu datang ke hadapan Hang Tuah lalu menikamnya bertubi-tubi. Maka Hang Tuah pun Melompat dan mengelak dari tikaman orang itu. Hang Tuah lalu mengayunkan kapaknya ke kepala orang itu, lalu terbelalah kepala orang itu dan mati. Maka kata seorang anak yang menyaksikannya,”Dia akan menjadi perwira besar di tanah Melayu ini.”Terdengarlah berita itu oleh keempat kawannya, Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekui.
Mereka pun langsung berlari-lari mendapatkan Hang Tuah. Hang Jebat dan Hang Kesturi bertanya kepadanya,”Apakah benar engkau membunuh pemberontak dengan kapak?” Hang Tuah pun tersenyum dan menjawab,”Pemberontak itu tidak pantas dibunuh dengan keris, melainkan dengan kapak untuk kayu.”Kemudian karena kejadian itu, baginda raja sangat mensyukuri adanya sang Hang Tuah. Jika ia tidak datang ke istana, pasti ia akan dipanggil oleh Sang Raja. Maka Tumenggung pun berdiskusi dengan pegawai-pegawai lain yang juga iri hati kepada Hang Tuah. Setelah diskusi itu, datanglah mereka ke hadapan Sang Raja.
Maka saat sang Baginda sedang duduk di tahtanya bersama para bawahannya, Tumenggung dan segala pegawai-pegawainya datang berlutut, lalu menyembah Sang Raja, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, ada banyak berita tentang penghianatan yang sampai kepada saya. Berita-berita itu sudah lama saya dengar dari para pegawai-pegawai saya.”Setelah Sang Baginda mendengar hal itu, maka Raja pun terkejut lalu bertanya, “Hai kalian semua, apa saja yang telah kalian ketahui?”Maka seluruh menteri-menteri itu menjawab, “Hormat tuanku, pegawai saya yang hina tidak berani datang, tetapi dia yang berkuasa itulah yang melakukan hal ini.”Maka Baginda bertitah, “Hai Tumenggung, katakana saja, kita akan membalasanya.”Maka Tumenggung menjawab, “Hormat tuanku, saya mohon ampun dan berkat, untuk datang saja hamba takut, karena yang melakukan hal itu, tuan sangat menyukainya. Baiklah kalau tuan percaya pada perkataan saya, karena jika tidak, alangkah buruknya nama baik hamba, seolah-olah menjelek-jelekkan orang itu.
Setelah Baginda mendengar kata-kata Tumenggung yang sedemikian itu, maka Baginda bertitah, “Siapakah orang itu, Sang Hang Tuah kah?”Maka Tumenggung menjawab, “Siapa lagi yang berani melakukannya selain Hang Tuah itu. Saat pegawai-pegawai hamba memberitahukan hal ini pada hamba, hamba sendiri juga tidak percaya, lalu hamba melihat Sang Tuah sedang berbicara dengan seorang perempuan di istana tuan ini. Perempuan tersebut bernama Dang Setia.
Hamba takut ia melakukan sesuatu pada perempuan itu, maka hamba dengan dikawal datang untuk mengawasi mereka.”Setelah Baginda mendengar hal itu, murkalah ia, sampai mukanya berwarna merah padam. Lalu ia bertitah kepada para pegawai yang berhati jahat itu, “Pergilah, singkirkanlah si durhaka itu!”Maka Hang Tuah pun tidak pernah terdengar lagi di dalam negri itu, tetapi si Tuah tidak mati, karena si Tuah itu perwira besar, apalagi di menjadi wali Allah. Kabarnya sekarang ini Hang Tuah berada di puncak dulu Sungai Perak, di sana ia duduk menjadi raja segala Batak dan orang hutan. Sekarang pun raja ingin bertemu dengan seseorang, lalu ditanyainya orang itu dan ia berkata, “Tidakkah tuan ingin mempunyai istri?”Lalu jawabnya, “Saya tidak ingin mempunyai istri lagi.”Demikianlah cerita Hikayat Hang Tuah.
Hikayat Hang Tuah, Sumber: Kamus Wikipedia Melayu
Hang Tuah ialah seorang pahlawan legenda berbangsa Melayu pada masa pemerintahan Sultan Melaka di abad ke-15 (Kesultanan Melayu Melaka bermula pada 1400-1511 A.D). Menurut rekod sejarah, beliau lahir di Kampong Sungai Duyong, Melaka kira-kira dalam tahun 1444 A.D. Bapanya bernama Hang Mahmud manakala ibunya pula ialah Dang Merdu Wati. Bapanya juga pernah menjadi hulubalang istana yang handal suatu ketika dulu, begitulah juga ibunya yang merupakan keturunan dayang di istana. Hang Tuah ialah Laksamana yang terkenal dengan kesetiaannya kepada Raja dan merupakan petarung silat yang amat handal dan tiada tolok bandingnya.
Hang Tuah dan empat orang kawannya: Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir dan Hang Lekiu menuntut ilmu bersama Adiputra di Gunung Ledang. Hang Tuah telah jatuh cinta pada Melor, anak orang asli yang tinggal di Gunung Ledang dan menjadi pembantu Adiputra. Selesai menuntut ilmu, mereka berlima kembali ke kota Melaka. Pada suatu hari, mereka berjaya menyelamatkan Dato' Bendahara (iaitu Perdana Menteri) daripada seorang lelaki yang sedang mengamok. Dato' Bendahara kagum dengan ketangkasan mereka dan menjemput mereka semua ke rumahnya dan seterusnya mengambil mereka untuk bertugas di istana. Sejak itu Hang Tuah dan sahabat-sahabatnya amat disayangi oleh Sultan hinggalah Hang Tuah mendapat gelar Laksamana. Semasa mengiringi Sultan Melaka ke Majapahit di tanah Jawa, Hang Tuah telah berjaya membunuh seorang pendekar Jawa bernama Taming Sari.
Dalam pertarungan itu Taming Sari, seorang pendekar yang kebal yang tidak dapat dilukakan. Tetapi Hang Tuah mengetahui bahawa kekebalan Taming Sari terletak pada kerisnya. Oleh itu Hang Tuah berjaya merampas keris berkenaan dan membunuh Taming Sari. Keris itu kemudiannya dianugerahkan oleh Betara Majapahit kepada Hang Tuah. Pemilik keris ini akan turut menjadi kebal seperti pendekar Jawa Taming Sari. Hang Tuah telah diutuskan ke Pahang bagi mendapatkan Tun Teja untuk dijadikan permaisuri Sultan Melaka. Ketika Hang Tuah ke Pahang, Melor turun dari Gunung Ledang mencari Hang Tuah.
Melor telah ditawan oleh Tun Ali atas hasutan Patih Karma Vijaya bagi dijadikan gundik Sultan. Atas muslihat Tun Ali juga, Hang Tuah yang kembali dari Pahang akhirnya dapat berjumpa Melor, tetapi Sultan juga turut menyaksikan perbuatan Hang Tuah itu. Melor dan Hang Tuah dihukum bunuh kerana difitnah berzina dengan Melor yang telah menjadi gundik Sultan. Namun, hukuman mati tidak dilaksanakan oleh Bendahara sebaliknya Hang Tuah disembunyikannya di sebuah hutan di Hulu Melaka. Hang Jebat telah dilantik oleh Sultan menjadi Laksamana menggantikan Hang Tuah dan keris Taming Sari telah dianugerahkan kepada Hang Jebat. Hang Jebat sebagai sahabat karib Hang Tuah, menyangka bahawa Hang Tuah telah teraniaya dan telah menjalani hukuman mati.
Hang Jebat (menurut Hikayat Hang Tuah) atau Hang Kasturi (menurut Sejarah Melayu), bertindak derhaka kepada Sultan dan mengambil alih istana. Tidak ada pendekar atau panglima di Melaka yang dapat menentang Hang Jebat (atau Hang Kasturi) yang telah menjadi kebal kerana adanya keris Taming Sari di tangannya. Sultan Mahmud terpaksa melarikan diri dan berlindung di rumah Bendahara. Pada masa itu baginda baru menyesal kerana membunuh Hang Tuah yang tidak bersalah. Inilah masanya Bendahara memberitahu yang Hang Tuah masih hidup. Hang Tuah kemudiannya telah dipanggil pulang dan dititahkan membunuh Hang Jebat.
Setelah tujuh hari bertarung, Hang Tuah akhirnya berjaya merampas semula Taming Sarinya daripada Hang Jebat dan membunuhnya. Dalam pertarungan yang sedih ini, Hang Jebat telah cuba membela sahabatnya yang telah difitnah. Namun begitu, Hang Tuah telah membantu sultan yang sebelum itu menghukumnya tanpa sebarang alasan. Sedangkan Abu Bakar Siddiq R.A juga berkata kepada orang Muslim bahawa jika dia bersalah, rakyat boleh menjatuhkannya.
Ternyata, kesilapan Hang Tuah yang tidak berfikir bahawa Allah S.W.T lebih berkuasa dari sultan dan memang tidak salah Hang Jebat cuba menegakkan kebenaran. Tragedi ini masih menjadi perbalahan orang melayu sampai sekarang. Namun begitu, ada juga yang menyokong Hang Tuah. Ini kerana Hang Jebat bukan saja derhaka kepada sultan bahkan telah membunuh ramai orang/rakyat Melaka yang tidak berdosa dengan mengamuk di dalam istana dan seluruh Melaka. Tindakan Hang Tuah yang membunuh Hang Jebat mungkin satu tindakan yang berupa hukuman mati terhadap pembunuh. Sumpah yang terkenal daripada Hang Tuah ialah "Tak Melayu hilang di dunia" yang bererti suku Melayu tidak akan punah di bumi ini. "Hikayat Hang Tuah" merupakan sebuah cerita hikayat Melayu yang menggambarkan dengan terperinci keadaan semasa sewaktu tersebut.
Hikayat Hang Tuah telah disifatkan oleh pengkaji sebagai menggambarkan tiga zaman yang ditempuhi oleh bangsa Melayu iaitu zaman permulaan, zaman kegemilangan, dan zaman kejatuhannya. Terdapat pertelingkahan mengenai sama ada Hang Tuah benar-benar wujud, ataupun hanya dongengan semata-mata. Ini disebabkan tempoh yang dirangkumi dalam Hikayat Hang Tuah agak lama. Selain itu terdapat pertelingkahan dalam beberapa kitab lain mengenai jalan cerita hikayat Hang Tuah. Masalah ini bukannya satu masalah yang besar dan merupakan satu perkara biasa bagi tokoh silam, sama seperti permasalahan tokoh Raja Arthur atau, tokoh Robin Hood dalam legenda Inggris.
Hikayat Hang Tuah, Antara Sejarah dan Mitos
Judul: Hikajat Hang Tuah
Penerbit: Balai Pustaka, Jakarta (Cetakan ke-3, 1956)
Tebal: 511 halaman
***
NAMA Hang Tuah bisa dipastikan tak asing di telinga banyak orang. Sama halnya dengan banyak tokoh yang dianggap berperan dalam sejarah bangsa ini, nama Hang Tuah pun diabadikan pada ruas-ruas jalan di Jakarta dan di beberapa daerah lain lagi. Bahkan, nama Hang Tuah juga diabadikan pada kapal perang pertama milik Indonesia. Pemberian nama itu untuk mengenang kejayaan Hang Tuah yang selalu mencapai kemenangan di laut. Namun, tidak seperti tokoh-tokoh bersejarah lainnya, tak banyak yang tahu siapa Hang Tuah yang diabadikan namanya itu? Apa perannya dalam sejarah negeri ini?
Memang, bisa dikatakan, keterangan tentang siapa dan apa kiprah Hang Tuah tidak ditemukan dalam literatur-literatur sejarah. Beberapa waktu lalu pernah diangkat kisah-kisah tokoh melayu, termasuk Hang Tuah ini, dalam berbagai versi seperti sandiwara radio maupun tayangan sinema di televisi. Tetap saja, Hang Tuah hanya dikenal sebatas tokoh terkenal dari daerah Melayu.
Tak banyak yang tahu kisah Hang Tuah yang dituliskan dalam sebuah buku berjudul Hikajat Hang Tuah tercatat sebagai karya sastra melayu klasik yang paling panjang. Salah satu versi Hikajat Hang Tuah adalah setebal 593 halaman. Buku berisikan Hang Tuah ini dikenal sejak abad ke-18, dan sejak saat itu disebutkan sangat menarik perhatian para peneliti barat. Hikajat Hang Tuah kemudian sangat terkenal, terbit dalam berbagai versi, dan sekitar 20 buku tersimpan di berbagai perpustakaan di dunia.
PADA buku Hikajat Hang Tuah terbitan Balai Pustaka, kisah tokoh yang di Malaysia dianggap sebagai salah satu pahlawan nasional ini diuraikan dalam 24 bab panjang. Pada pengantar disebutkan, buku tersebut disalin dari salah satu naskah tulis tangan huruf Arab. Pada sampul bagian dalam tertulis: "Inilah hikajat Hang Tuah jang amat setiawan kepada tuannja dan terlalu sangat berbuat kebadjikan kepada tuannja".
Kisah dimulai dengan bab yang menguraikan asal muasal raja-raja di Malaka atau Melayu. Dengan diantar oleh kata-kata: "Sekali peristiwa...", diceritakan tentang seorang raja keinderaan (kayangan-Red) Sang Pertala Dewa, yang akan mempunyai seorang anak dan dia akan menjadi raja di Bukit Seguntang. Keturunan-keturunan sang dewa inilah dengan segala kemuliaan yang dimiliki kemudian menjadi raja-raja di tanah Melayu.
Hang Tuah diceritakan sebagai anak Hang Mahmud. Dikisahkan, setelah mendengar kabar gembira tentang negeri Bintan sudah mempunyai seorang raja yang tak lain adalah cucu dari Sang Pertala Dewa, Hang Mahmud pun bergegas mengajak istri dan anaknya pindah ke sana. Di Bintan, Hang Tuah muda bertemu dan bersahabat dengan Hang Jebat, Hang Kesturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Kelima pemuda itu diceritakan selalu bersama-sama, seperti lima orang bersaudara.
Suatu hari, Hang Tuah mengusulkan pada keempat sahabatnya untuk pergi berlayar dan merantau bersama-sama. Empat sahabatnya pun setuju, dan mereka berangkat berlayar. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dan menundukkan tiga perahu yang ternyata adalah musuh Bintan dari Siantan. Kawanan tersebut tak lain adalah kaki tangan Patih Gajah Mada dari Majapahit yang ingin memperluas kekuasaan dengan merompak di Tanah Palembang. Akhirnya, lima sekawan itu diangkat menjadi abdi salah seorang pemimpin di negeri Bintan, yang dipanggil Bendahara Paduka Raja. Dari sinilah kisah perjuangan Hang Tuah yang akhirnya justru mendapat gelar laksamana dari Raja Majapahit dimulai.
Dalam buku, terutama melalui tokoh Hang Tuah dan Patih Gajah Mada, dikisahkan adanya persaingan kejayaan antara Malaka dan Majapahit. Gajah Mada tidak digambarkan sebagai tokoh yang mulia ataupun bijaksana. Ia digambarkan dalam sosok yang begitu berkuasa dan ambisius. Beberapa kali ia menyusun rencana untuk menghabisi Hang Tuah yang dianggap sebagai batu penghalang rencananya untuk menguasai Malaka. Berbicara soal musuh, dalam menjalankan tugas sebagai abdi yang setia dan disegani, Hang Tuah pun di negerinya sendiri beberapa kali harus dibuang bahkan hendak dibunuh akibat fitnah. Fitnah itu sebegitu rupa sehingga salah seorang sahabatnya, yaitu Hang Jebat, pun berkhianat.
Hang Tuah memang membawa Malaka pada kejayaan. Tidak hanya ia berhasil membendung serangan dari Majapahit. Ke mana saja ia diutus dan apa pun tugas yang diemban, selalu membuahkan hasil. Namun, dengan masuknya orang-orang dari Eropa, terutama Belanda, akhirnya kejayaan Malaka dihancurleburkan. Pada bagian akhir dikisahkan, Malaka jatuh ke tangan orang-orang dari Johor dan Belanda. Hang Tuah sendiri dikisahkan masih hidup dan tinggal di negeri Batak, menjadi wali agama dan raja.
DEMIKIAN cuplikan kisah tokoh bernama Hang Tuah dari salah satu versi terbitan Balai Pustaka. Tak ada yang tahu, siapa sesungguhnya pengarang Hikajat Hang Tuah. Tahun persis kapan pertama kali kisah ini muncul pun hingga kini tak bisa dipastikan. Tak ubahnya karya-karya sastra kuno umumnya, kisah Hang Tuah ini pun diduga pertama kali dikenal berupa cerita lisan. Kemudian, dalam bentuk naskah tertulis, Hikajat Hang Tuah diduga pertama kali ditulis pada abad ke-16.
Menurut Prof Dr Sulastin Sutrisno (lihat Ketika Hang Tuah Menjadi Disertasi) yang pernah mengangkat Hikajat Hang Tuah menjadi sebuah disertasi, siapa pengarang sesungguhnya memang sulit dipastikan. Namun, yang jelas, karya tersebut mengundang kekaguman sendiri. Sebagai sebuah kisah fiktif, Hikajat Hang Tuah sarat dengan muatan sejarah. Nama-nama kerajaan dan tokoh memang lekat dengan apa yang tercantum dalam catatan-catatan sejarah. Bahkan ada dugaan, pengarang Hang Tuah tidak hanya berpengetahuan luas karena sarat dengan muatan sejarah, namun juga banyak menggunakan sumber sastra lain. Dugaan ini muncul karena pada beberapa bagian, terdapat kemiripan dengan cerita-cerita klasik lain seperti Kisah Panji, Hikajat Sri Rama, dan sebagainya.
Salah seorang ahli sastra, Sir Richard Windstedt, menyebutkan, karya sastra klasik seperti Hikajat Hang Tuah ini identik dengan syair-syair bermuatan kisah kepahlawanan yang banyak dihasilkan di Jawa pada abad ke-11. Karya-karya ini dikatakan mengubah sejarah menjadi mitos, atau sebaliknya mengubah mitos menjadi sejarah. Dalam Hikajat Hang Tuah, nuansa fiktif maupun mitos di antaranya terwakili melalui ketiadaan keterangan waktu dalam setiap peristiwa, kehadiran negeri kayangan yang dipimpin Sang Pertala Dewa maupun perubahan wujud Hang Tuah menjadi harimau dalam sebuah perkelahian (hal 164).
Tokoh Hang Tuah sendiri pun tak bisa dipastikan sebagai tokoh mitos atau sejarah, meskipun dalam Sejarah Melayu (Malay Annals) disebutkan Hang Tuah mati di abad ke-15. Kitab tersebut, Sejarah Melayu-disusun oleh Mansur Shah salah seorang penguasa di Malaka-yang mencantumkan riwayat Hang Tuah pun diragukan oleh berbagai kalangan. Sir Richard Winstedt menyebutkan, Mansur Shah, dalam Sejarah Melayu, mampu mengangkat legenda tentang seorang pejuang bernama Hang Tuah yang tumbuh saat terjadi perang antara Jawa dan Tamil. Akan tetapi, seperti dikatakan di atas, hampir tidak dapat dibedakan yang mana sejarah dan yang mana mitos. Namun, untuk tokoh seperti Hang Tuah, siapa lagi yang peduli bahwa itu mitos atau sejarah selama dia menjadi ilham etika publik?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar