Minggu, 13 November 2011

Soe Hok Gie


Soe Hok Gie dilahirkan pada tanggal 17 Desember 1942, adik dari sosiolog Arief Budiman. Catatan harian Gie sejak 4 Maret 1957 sampai dengan 8 Desember 1969 dibukukan tahun 1983 oleh LP3ES ke dalam sebuah buku yang berjudul Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran setebal 494 halaman. Gie meninggal di Gunung Semeru sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 — 16 Desember 1969 akibat gas beracun.
Setelah lulus dari SMA Kanisius Gie melanjutkan kuliah ke Universitas Indonesia tahun 1961. Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.
Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.
Selain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.
Soe Hok Gie di pilar triangulasi puncak Pangrango, 1967
Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.
Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”
8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.
24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.
Makam Soe Hok Gie di Tanah Abang
Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:
“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”
“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”
“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”
Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Sabtu, 05 November 2011

Balasan Amalan dalam Kesendirian

Dinarasikan Abu Hurairah, Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia” mereka pun mencintanya, kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari, bab Dzikrul Malâikah, nomor 3037]
Dalam buku Shaidul Khâthir, diary yang berisi catatan-catatan renungannya, Ibnul Jauzi mengingatkan, “Amalan di tempat sepi memiliki banyak pengaruh di tempat ramai. Tak sedikit orang yang beriman kepada Allah Azza wa Jalla memuliakan-Nya di tempat-tempat yang sepi dan meninggalkan sesuatu yang disenanginya karena takut pada siksa-Nya, berharap pahala-Nya atau segan terhadap-Nya.”

Orang yang melakukan amalan di tempat sepi dan ketika menyendiri, lanjut Ibnul Jauzi, ibarat orang yang memasukkan kayu gaharu ke dalam perapian, lalu ia menyebarkan aroma wangi nan mengharumkan, yang tercium oleh banyak orang, meski mereka sama sekali tidak mengetahui dari mana sumbernya. Wangi atau tidaknya kayu gaharu itu bergantung dari tingkat kesungguhan dalam meninggalkan apa-apa yang disenangi dan kuat-lemahnya kemampuan menjauhi hal-hal yang dicintai.
Itulah keshalihan haqiqi, dan buah dari keikhlasan, serta ta’zhim (pengagungan) seorang hamba kepada Allah Ta’ala. Semakin tinggi kualitas iman dan keikhlasan seorang hamba, semakin besar pula kecintaan manusia kepadanya, disadari atau tidak, dikehendaki atau tidak. Balasan yang Allah berikan itu setara, bahkan lebih baik dari amal hamba-hamba-Nya.
Ada pesan indah yang diucapkan oleh Yahya bin Mu’adz. Katanya, “Manusia akan segan kepadamu menurut kadar takutmu kepada Allah, dan manusia akan mencintamu menurut kadar cintamu kepada Allah, dan manusia akan sibuk menolong urusanmu menurut kadar kesibukanmu untuk Allah.” (Shifatus Shafwah : IV/95, dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 461, hlm. 274-275).
Cinta dari langit
Kita mungkin bertanya, apa yang membuat manusia begitu mencinta mereka-mereka yang beramal dalam kesendirian padahal mereka tidak mengetahuinya? Jawabannya adalah cinta itu dari langit; Allah lah yang menebarkan cinta kepada Jibril, penghuni langit dan juga penduduk bumi sehingga mereka semua mencintanya. Inilah yang diisyaratkan oleh Rasul mulia, Nabi Muhammad Shallallâhu ‘alaihi wa sallam, dalam salah satu sabdanya,
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ  : عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ( إِذَا أَحَبَّ اللهُ الْعَبْدَ نَادَى جِبْرِيْلَ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحْبِبْهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيْلُ فَيُنَادِيْ جِبْرِيْلُ فِيْ أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوْهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوْضَعُ لَهُ الْقَبُوْلُ فِي الْأَرْضِ )
Dinarasikan oleh Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Jika mencinta seorang hamba, Allah menyeru kepada Jibril, “Sesungguhnya Allah mencinta fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun mencintanya, lalu dia menyeru penghuni langit, “Sesungguhnya Allah mencinta si fulan, maka cintailah ia.” Kemudian ia pun diterima di bumi.” [HR. al Bukhari].
Makna, “ia pun diterima di bumi”, menurut DR. Mushthafa Dib al Bugha adalah “al mahabbatu fi qulûbi man ya’rifuhu minal mu’minîna wa yabqa lahu dzikrun shâlihun wa tsanâ’un hasanun, ia dicintai oleh orang-orang mukmin yang mengenalnya, dan disebut serta dipuji dengan sebutan dan pujian yang baik.”
Inilah salah satu kunci dan rahasia amalan-amalan dalam kesendirian; semakin ikhlas seorang hamba dalam beramal ketika sepi dan sendiri, maka semakin besar pula cinta Allah kepadanya. Maka renungkanlah wahai saudaraku, fokuskanlah dirimu untuk memperbaiki hubunganmu dengan Allah, niscaya Dia akan mendatangkan keajaiban-keajaiban tak berkesudahan.
Fakta dan realita menjadi bukti terkuatnya. Betapa banyak mata yang mengagungkannya dan lisan yang memujinya, padahal mereka tidak mengetahui penyebabnya dan tidak mampu melukiskannya karena sangat jauhnya mereka dari hakikat pengetahuannya.
Terkadang keharuman nama orang-orang yang seperti ini tetap terjaga hingga sesudah kematiannya. Sebagian dari mereka dibicarakan namanya dalam waktu yang sangat lama, namun kemudian dilupakan. Sebagian disebut-sebut kebaikannya selama 100 tahun, lalu nama dan kuburannya tak lagi diingat orang. Sebagian mereka lagi ada yang menjadi tokoh hingga namanya diingat sepanjang masa, padahal sudah ribuan tahun ia di kuburkan.
Kegembiraan orang mukmin
Suatu ketika, sebagaimana dinarasikan oleh Abu Dzar Radhiyallâhu ‘anhu, Rasulullah ditanya, “Bagaimana pendapat Anda tentang lelaki yang melakukan sebuah amal kebaikan, lalu manusia memujinya?” beliau menjawab, “Itu adalah kabar gembira yang disegerakan bagi orang mukmin.” [HR. Muslim, bab Idzâ atsnâ ‘alash shâlihi fa hiya busyrâ, nomor 2642].
Maksud, “Itu adalah kabar gembira bagi orang mukmin yang disegerakan”, menurut para ulama sebagaimana dinukil oleh Muhammad Fu’ad Abdul Baqi, adalah bahwa ini merupakan bukti ridha dan cinta Allah Ta’ala kepadanya, sehingga Dia menjadikan manusia mencintainya. [Qâlal ‘ulamâ ma’nâhu hâdzal busyrâ al mu’ajjalah lahu bil khair, wa hiya dalilul busyra al muakhkharah ilal âkhirah bi qaulihi, ‘Busyrâkumul yauma jannâtun…..al âyah.” wa hâdzihil busyrâ al mu’ajjalah dalîlun ‘ala ridhallâhi Ta’âlâ ‘anhu wa mahabbatihi lahu fa yuhabbibuhu ilal khalqi].

Pujian ini, sekali lagi, bahkan lebih baik dari pada amal hamba tersebut. Terlalu sering kita mendapati pengakuan mereka, orang-orang yang ikhlash dalam beramal, bahwa pujian manusia terlalu berlebihan; karena amal yang mereka lakukan tidak sebaik yang diperkirakan pemujinya, keshalihan mereka pun tidak sehebat yang disangkakan pemujanya. Hingga mereka selalu berdoa dalam munajatnya, “Allahumma lâ tuâkhidnî bi mâ yaqûlûna wa-j’alnî khairan mimmâ yazhunnûn, Duh Allah, janganlah Engkau memberikan hukuman kepada hamba disebabkan apa yang mereka ucapkan dan jadikanlah hamba lebih baik dari apa yang mereka sangkakan.”
Itulah keunikan dan ciri khas orang-orang ikhlash; semakin dipuji semakin takut dan khawatir amalnya tidak diterima. Ini tentu karena tingginya pengetahuan mereka terhadap Allah Ta’ala; betapa maha dermawan dan pemurahnya Allah Ta’ala yang menutupi aib-aib hambanya, dan mengampuni sebagian besar kesalahan mereka.
Ah, alangkah bijaknya kekata Malik bin Dinar. Katanya, “Semenjak kenal manusia, aku tidak senang pujian mereka, dan juga tidak benci celaan mereka.” Ada yang bertanya, “Kenapa bisa demikian?” beliau menjawab, “Karena mereka yang memuji itu berlebih-lebihan dan mereka yang mencela itu terlalu meremehkan.” (Shifatus Shafwah : III/276 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 360, hlm. 220).
Keteladanan para salaf
Berbicara tentang gemar menyembunyikan amal dalam kesendirian, atau menjaga keikhlasan sebelum-saat-sesudah beramal, maka kita tidak bisa menafikan teladan para salaf yang mendahului kita. Mereka lah sebaik-baik teladan yang wajib kita ikuti.
Inilah Hassan bin Sinan. Istrinya pernah bercerita, “Hasan datang, dan masuk ke ranjangku ketika hendak tidur, lalu ia menipuku sebagaimana seorang ibu menipu anaknya. Jika ia sudah tahu bahwa aku tidur, ia bangkit kemudian shalat malam.”
Inlah Dawud bin Abu Hind. Ia berpuasa selam 40 tahun tetapi keluarga dan orang-orang pasar tidak mengetahuinya, padahal ia adalah seorang pedagang. Ia membawa makan paginya lalu disedekahkan, sehingga keluarganya mengira bahwa ia memakannya di pasar, sementara orang-orang pasar menyangka bahwa ia sudah makan bersama keluarganya.
Inilah Rabi’ bin Khutsaim, tabi’in agung yang pernah dipuji oleh shahabat Abdullah bin Mas’ud, “Seandainya Rasulullah melihatmu, beliau pasti mencintamu.” Dinarasikan oleh Bakar bin Ma’iz, sebagaimana diabadikan oleh Ibnul Jauzi dalam Shifatus Shafwah, bahwa ia berkata, “Rabi’ tidak pernah terlihat shalat sunah di masjid masyarakat kampungnya kecuali hanya sekali seumur hidupnya.” Pengakuan lain tentang keikhlasan Rabi’ juga berasal dari budaknya. Katanya, “Sesungguhnya amal perbuatan Rabi’ seluruhnya dilakukan dengan diam-diam. Bilamana seseorang datang, sementara dia tengah membaca al Qur’an, dia segera menutupi mushafnya dengan bajunya.”
Kisah serupa juga dilakukan oleh Ibrahim an Nakha’i. al A’masy meriwayatkan, “Aku berada di sisi Ibrahim yang sedang membaca mushhaf, kemudian ada orang yang meminta izin untuk bertemu, lalu beliau menutup mushhafnya, dan berkata, “Agar dia tidak mengira bahwa saya membaca setiap saat.” (Shifatus Shafwah : III/87 dalam Ensiklopedi Hikmah, nomor 274, hlm. 169)
Yang lebih menakjubkan lagi, tentunya kisah Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib, keponakan shahabat Ali dan cicit Nabi Muhammad. Syaibah bin Na’amah berkata, “Ali bin Husain dulu dikenal pelit, tetapi ketika meninggal dunia, manusia mendapati beliau menghidupi 100 keluarga di Madinah.” (Shifatus Shafwah : II/96 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 116, hlm. 81).
Dalam ranah intelektualitas, Imam Asy-Syafi’I pernah berkata, “Wadidtu annal khalqa ta’allamû hâdzâ, ‘alâ an lâ yunsaba ilayya harfun minhu, aku ingin semua manusia belajar ini, hanya saja tidak ada satu huruf pun yang dinisbatkan kepadaku.”
Mereka jujur bersama Allah, sehingga ini membuat Allah mencintainya. Sebagai balasannya, Allah pun membuat Jibril, penghuni langit dan penduduk bumi mencintainya. Maka kaidah terpenting dalam masalah ini adalah fokuskanlah dirimu dalam memperbaiki hubungan dirimu dengan Allah, dan hadapkanlah hatimu hanya kepada-Nya semata, niscaya Dia akan menghadapkan hati segenap hamba-Nya kepadamu. Bahkan tidak hanya itu, Allah pun memberikan bonus lagi; Dia akan memperbaiki hatimu. Hudzaifah bin Qatadah al Mar’asyi berkata, “Jika kamu mentaati Allah dalam kesendirian, Dia akan memperbaiki hatimu, baik kamu berkehendak atau tidak.” (Shifatus Shafwah : IV/270 dalam Ensiklopedi Hikmah nomor 593, hlm. 347).
Hati-hati dengan maksiat ketika menyendiri
Sebagian orang kebalikan dari orang-orang di atas; mereka takut pada makhluk dan tidak memuliakan Allah kala menyendiri. Sedikit-banyaknya dosa mereka menjadi ukuran parah-tidaknya kebusukan bau mereka di mata manusia, dan parameter kebencian mereka kepadanya. Jika dosa yang dilakukannya tidak seberapa, lisan yang membicarakan kebaikannya juga tidak seberapa, dan yang tersisa cuma penghormatan kepadanya. Namun kalau dosa yang dikerjakannya terlalu banyak, yang sering terjadi adalah diamnya orang-orang dalam menghadapinya; mereka tidak memujinya namun tidak pula mencelanya.
Perbuatan yang dikerjakan di tempat sepi sangat sering menjerumuskan pelakunya ke jurang kehinaan, kerugian dan kesengsaraan, di dunia dan di akherat. Kehinaan karena ia akan melahirkan rasa malu, baik kepada orang shalih maupun kepada Allah, dan tentunya menjadikan dirinya dibenci oleh orang-orang mukmin, entah disadari atau tidak. Kerugian karena ia bisa melenyapkan pahala yang menggunung lantaran sia-sia dan tidak diterima oleh Allah Ta’ala. Kesengsaraan karena ia mampu merubah pandangan manusia; dikiranya termasuk penghuni surga karena amalannya tetapi dia ternyata menjadi penghuni neraka. Adakah yang lebih berat dari ini semua? Maka, berhati-hatilah, jangan meremehkan kemaksiatan, sekecil apapun itu, karena timbangan Allah mampu menimbang amalan sebutir pasir, sekalipun.
Tentang kebencian dan efek negatif yang didapatkan oleh orang yang gemar bermaksiat dalam kesendiriannya, Abu Darda’ Radhiyallahu ‘Anhu pernah mengatakan, “Seorang hamba melakukan dosa di tempat sepi, lalu Allah menjadikannya dibenci oleh orang-orang yang beriman tanpa ia sadari.” [baca artikel terkait berjudul; mengeja balasan setiap perbuatan].
Lebih dari itu, kemaksiatan dalam kesendirian terkadang bisa melenyapkan pahala yang menggunung. Tentang orang yang shalih dalam keramaian tetapi berhati busuk dalam kesendirian, Rasulullah pernah mengingatkan,
“Sungguh aku tahu ada sekelompok dari umatku yang datang pada hari kiamat dengan kebaikan-kebaikan semisal gegunungan Tihamah yang berwarna putih, tetapi Allah menjadikannya debu yang beterbangan (sia-sia).” Tsauban bertanya, “Ya Rasûlallah, sifatkanlah mereka untuk kami, agar kami tidak seperti mereka sedangkan kami tidak mengetahuinya.” Beliau bersabda, “Mereka adalah saudara kalian, dari ras kalian, dan qiyam sebagaimana kalian hanya saja mereka adalah orang-orang yang melanggar larangan-larangan Allah dalam kesendiriannya.” (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabrani).
Yang lebih mengejutkan lagi adalah kekhawatiran kita bila kemaksiatan yang dilakukan ketika menyendiri itu menyeret kita kepada su’ul khatimah, dan menempatkan kita ke seburuk-buruk tempat di akherat. Wal iyadzu billah. Rasulullah bersabda,
فَوَالَّذِيْ لَا إِلَهَ غَيْرُهُ إِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُهَا وَإِنَّ أَحَدَكُمْ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُهَا
“Demi Dzat yang tidak ada ilah yang berhak diibadahi selain Dia, sesungguhnya salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli surga hingga tiada jarak antara dia dengan surga kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahuluinya (bahwa ia termasuk penghuni neraka) lalu dia beramal dengan amalan penghuni neraka (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya. Dan salah seorang di antara kalian sungguh ada yang beramal dengan amalan ahli neraka hingga tiada jarak antara dia dengan neraka kecuali hanya sehasta, tetapi al Kitab telah mendahulinya (bahwa ia termasuk penghuni surga) lalu dia beramal dengan amalan penghuni surga (sebelum matinya) kemudian dia memasukinya.” (HR. Muslim, bab Kaifiyyatul Khalqi al Adami fi Bathni Ummihi, nomor 2643, Juz IV, hlm. 2036)
Sebagai kata penutup, kiranya kita harus belajar lebih peka lagi dalam mengeja dan membaca balasan atas amalan-amalan yang kita lakukan, kebaikan dan keburukannya, ketaatan dan kemaksiatannya, agar kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tiada secuil pun amalan kecuali pasti mendapatkan balasan. Wallahu A’lam bis Shawwab.
Ya Allah, selalu, berikanlah hidayah dan inayah-Mu kepada kami untuk senantiasa menambah ilmu, kemudian mengamalkannya agar kami tidak termasuk kaum yang Engkau murkai, dan tidak pula termasuk kaum yang tersesat. Aamiin.