Kamis, 09 Februari 2012

Bung Karno terusir dari istana negara dengan kondisi yang mengenaskan



Tak lama setelah mosi tidak percaya parlemen bentukan Nasution di tahun 1967 dan MPRS menunjuk Suharto sebagai Presiden RI, Bung Karno menerima surat untuk segera meninggalkan Istana dalam waktu 2 X 24 Jam. Bung Karno tidak diberi waktu untuk menginventarisir barang-barang pribadinya. Wajah-wajah tentara yang mengusir Bung Karno tidak bersahabat lagi. “Bapak harus cepat meninggalkan Istana ini dalam waktu dua hari dari sekarang!”.

Bung Karno pergi ke ruang makan dan melihat Guruh sedang membaca sesuatu di ruang itu. “Mana kakak-kakakmu” kata Bung Karno. Guruh menoleh ke arah Bapaknya dan berkata “Mereka pergi ke rumah Ibu”. Rumah Ibu yang dimaksud adalah rumah Fatmawati di Jalan Sriwijaya, Kebayoran Baru. Bung Karno berkata lagi “Mas Guruh, Bapak tidak boleh lagi tinggal di Istana ini lagi, kamu persiapkan barang-barangmu, jangan kamu ambil lukisan atau hal lain, itu punya negara”. Kata Bung Karno, lalu Bung Karno melangkah ke arah ruang tamu Istana disana ia mengumpulkan semua ajudan-ajudannya yang setia. Beberapa ajudannya sudah tidak kelihatan ia maklum, ajudan itu sudah ditangkapi karena diduga terlibat Gestapu. “Aku sudah tidak boleh tinggal di Istana ini lagi, kalian jangan mengambil apapun, Lukisan-lukisan itu, Souvenir dan macam-macam barang. Itu milik negara.

Semua ajudan menangis saat tau Bung Karno mau pergi “Kenapa bapak tidak melawan, kenapa dari dulu bapak tidak melawan…” Salah satu ajudan separuh berteriak memprotes tindakan diam Bung Karno. “Kalian tau apa, kalau saya melawan nanti perang saudara, perang saudara itu sulit jikalau perang dengan Belanda jelas hidungnya beda dengan hidung kita. Perang dengan bangsa sendiri tidak, wajahnya sama dengan wajahmu…keluarganya sama dengan keluargamu, lebih baik saya yang robek dan hancur daripada bangsa saya harus perang saudara”. Tiba-tiba beberapa orang dari dapur berlarian saat mendengar Bung Karno mau meninggalkan Istana. “Pak kamu memang tidak ada anggaran untuk masak, tapi kami tidak enak bila bapak pergi, belum makan. Biarlah kami patungan dari uang kami untuk masak agak enak dari biasanya”. Bung Karno tertawa “Ah, sudahlah sayur lodeh basi tiga itu malah enak, kalian masak sayur lodeh saja. Aku ini perlunya apa…”

Di hari kedua saat Bung Karno sedang membenahi baju-bajunya datang perwira suruhan Orde Baru. “Pak, Bapak harus segera meninggalkan tempat ini”. Beberapa tentara sudah memasuki ruangan tamu dan menyebar sampai ke ruang makan. Mereka juga berdiri di depan Bung Karno dengan senapan terhunus. Bung Karno segera mencari koran bekas di pojok kamar, dalam pikiran Bung Karno yang ia takutkan adalah bendera pusaka akan diambil oleh tentara. Lalu dengan cepat Bung Karno membungkus bendera pusaka dengan koran bekas, ia masukkan ke dalam kaos oblong, Bung Karno berdiri sebentar menatap tentara-tentara itu, namun beberapa perwira mendorong tubuh Bung Karno untuk keluar kamar. Sesaat ia melihat wajah Ajudannya Saelan dan Bung Karno menoleh ke arah Saelan. “Aku pergi dulu” kata Bung Karno dengan terburu-buru. “Bapak tidak berpakaian rapih dulu, Pak” Saelan separuh berteriak. Bung Karno hanya mengibaskan tangannya. Bung Karno langsung naik VW Kodok, satu-satunya mobil pribadi yang ia punya dan meminta sopir diantarkan ke Jalan Sriwijaya, rumah Ibu Fatmawati.

Di rumah Fatmawati, Bung Karno hanya duduk seharian saja di pojokan halaman, matanya kosong. Ia meminta bendera pusaka dirawat hati-hati. Bung Karno kerjanya hanya mengguntingi daun-daun di halaman. Kadang-kadang ia memegang dadanya yang sakit, ia sakit ginjal parah namun obat yang biasanya diberikan sudah tidak boleh diberikan. Sisa obat di Istana dibuangi. Suatu saat Bung Karno mengajak ajudannya yang bernama Nitri untuk jalan-jalan. Saat melihat duku, Bung Karno kepengen duku tapi dia tidak punya uang. “Aku pengen duku, …Tru, Sing Ngelah Pis, aku tidak punya uang” Nitri yang uangnya pas-pasan juga melihat ke dompetnya, ia merasa cukuplah buat beli duku sekilo. Lalu Nitri mendatangi tukang duku dan berkata “Pak Bawa dukunya ke orang yang ada di dalam mobil”. Tukang duku itu berjalan dan mendekat ke arah Bung Karno. “Mau pilih mana, Pak manis-manis nih ” sahut tukang duku dengan logat betawi kental. Bung Karno dengan tersenyum senang berkata “coba kamu cari yang enak”. Tukang Duku itu mengernyitkan dahinya, ia merasa kenal dengan suara ini. Lantas tukang duku itu berteriak “Bapak…Bapak….Bapak…Itu Bapak…Bapaak” Tukang duku malah berlarian ke arah teman-temannya di pinggir jalan” Ada Pak Karno, Ada Pak Karno….” mereka berlarian ke arah mobil VW Kodok warna putih itu dan dengan serta merta para tukang buah memberikan buah-buah pada Bung Karno. Awalnya Bung Karno tertawa senang, ia terbiasa menikmati dengan rakyatnya. Tapi keadaan berubah kontan dalam pikiran Bung Karno, ia takut rakyat yang tidak tau apa-apa ini lantas digelandang tentara gara-gara dekat dengan dirinya. “Tri, berangkat ….cepat” perintah Bung Karno dan ia melambaikan ke tangan rakyatnya yang terus menerus memanggil namanya bahkan ada yang sampai menitikkan air mata. Mereka tau pemimpinnya dalam keadaan susah.

Mengetahui bahwa Bung Karno sering keluar dari Jalan Sriwijaya, membuat beberapa perwira pro Suharto tidak suka. Tiba-tiba satu malam ada satu truk ke rumah Fatmawati dan mereka memindahkan Bung Karno ke Bogor. Di Bogor ia dirawat oleh Dokter Hewan!…

Tak lama setelah Bung Karno dipindahkan ke Bogor, datanglah Rachmawati, ia melihat ayahnya dan menangis keras-keras saat tau wajah ayahnya bengkak-bengkak dan sulit berdiri. Saat melihat Rachmawati, Bung Karno berdiri lalu terhuyung dan jatuh. Ia merangkak dan memegang kursi. Rachmawati langsung teriak menangis. Malamnya Rachmawati memohon pada Bapaknya agar pergi ke Jakarta saja dan dirawat keluarga. “Coba aku tulis surat permohonan kepada Presiden” kata Bung Karno dengan suara terbata. Dengan tangan gemetar Bung Karno menulis surat agar dirinya bisa dipindahkan ke Jakarta dan dekat dengan anak-anaknya. Rachmawati adalah puteri Bung Karno yang paling nekat. Pagi-pagi setelah mengambil surat dari bapaknya, Rachma langsung ke Cendana rumah Suharto. Di Cendana ia ditemui Bu Tien yang kaget saat melihat Rachma ada di teras rumahnya. “Lhol, Mbak Rachma ada apa?” tanya Bu Tien dengan nada kaget. Bu Tien memeluk Rachma, setelah itu Rachma bercerita tentang nasib bapaknya. Hati Bu Tien rada tersentuh dan menggemgam tangan Rachma lalu dengan menggemgam tangan Rachma bu Tien mengantarkan ke ruang kerja Pak Harto. “Lho, Mbak Rachma..ada apa?” kata Pak Harto dengan nada santun. Rachma-pun menceritakan kondisi Bapaknya yang sangat tidak terawat di Bogor. Pak Harto berpikir sejenak dan kemudian menuliskan memo yang memerintahkan anak buahnya agar Bung Karno dibawa ke Djakarta. Diputuskan Bung Karno akan dirawat di Wisma Yaso.

Bung Karno lalu dibawa ke Wisma Yaso, tapi kali ini perlakuan tentara lebih keras. Bung Karno sama sekali tidak diperbolehkan keluar dari kamar. Seringkali ia dibentak bila akan melakukan sesuatu, suatu saat Bung Karno tanpa sengaja menemukan lembaran koran bekas bungkus sesuatu, koran itu langsung direbut dan ia dimarahi. Kamar Bung Karno berantakan sekali, jorok dan bau. Memang ada yang merapihkan tapi tidak serius. Dokter yang diperintahkan merawat Bung Karno, dokter Mahar Mardjono nyaris menangis karena sama sekali tidak ada obat-obatan yang bisa digunakan Bung Karno. Ia tahu obat-obatan yang ada di laci Istana sudah dibuangi atas perintah seorang Perwira Tinggi. Mahar hanya bisa memberikan Vitamin dan Royal Jelly yang sesungguhnya hanya madu biasa. Jika sulit tidur Bung Karno diberi Valium, Sukarno sama sekali tidak diberikan obat untuk meredakan sakit akibat ginjalnya tidak berfungsi.

Banyak rumor beredar di masyarakat bahwa Bung Karno hidup sengsara di Wisma Yaso, beberapa orang diketahui akan nekat membebaskan Bung Karno. Bahkan ada satu pasukan khusus KKO dikabarkan sempat menembus penjagaan Bung Karno dan berhasil masuk ke dalam kamar Bung Karno, tapi Bung Karno menolak untuk ikut karena itu berarti akan memancing perang saudara.

Pada awal tahun 1970 Bung Karno datang ke rumah Fatmawati untuk menghadiri pernikahan Rachmawati. Bung Karno yang jalan saja susah datang ke rumah isterinya itu. Wajah Bung Karno bengkak-bengkak. Ketika tau Bung Karno datang ke rumah Fatmawati, banyak orang langsung berbondong-bondong ke sana dan sesampainya di depan rumah mereka berteriak “Hidup Bung Karno….hidup Bung Karno….Hidup Bung Karno…!!!!!” Sukarno yang reflek karena ia mengenal benar gegap gempita seperti ini, ia tertawa dan melambaikan tangan, tapi dengan kasar tentara menurunkan tangan Sukarno dan menggiringnya ke dalam. Bung Karno paham dia adalah tahanan politik.

Masuk ke bulan Februari penyakit Bung Karno parah sekali ia tidak kuat berdiri, tidur saja. Tidak boleh ada orang yang bisa masuk. Ia sering berteriak kesakitan. Biasanya penderita penyakit ginjal memang akan diikuti kondisi psikis yang kacau. Ia berteriak ” Sakit….Sakit ya Allah…Sakit…” tapi tentara pengawal diam saja karena diperintahkan begitu oleh komandan. Sampai-sampai ada satu tentara yang menangis mendengar teriakan Bung Karno di depan pintu kamar. Kepentingan politik tak bisa memendung rasa kemanusiaan, dan air mata adalah bahasa paling jelas dari rasa kemanusiaan itu.

Hatta yang dilapori kondisi Bung Karno menulis surat pada Suharto dan mengecam cara merawat Sukarno. Di rumahnya Hatta duduk di beranda sambil menangis sesenggukan, ia teringat sahabatnya itu. Lalu dia bicara pada isterinya Rachmi untuk bertemu dengan Bung Karno. “Kakak tidak mungkin kesana, Bung Karno sudah jadi tahanan politik” Hatta menoleh pada isterinya dan berkata “Sukarno adalah orang terpenting dalam pikiranku, dia sahabatku, kami pernah dibesarkan dalam suasana yang sama agar negeri ini merdeka. Bila memang ada perbedaan diantara kita itu lumrah tapi aku tak tahan mendengar berita Sukarno disakiti seperti ini”. Hatta menulis surat dengan nada tegas kepada Suharto untuk bertemu Sukarno, ajaibnya surat Hatta langsung disetujui, ia diperbolehkan menjenguk Bung Karno.

Hatta datang sendirian ke kamar Bung Karno yang sudah hampir tidak sadar, tubuhnya tidak kuat menahan sakit ginjal. Bung Karno membuka matanya. Hatta terdiam dan berkata pelan “Bagaimana kabarmu, No” kata Hatta ia tercekat mata Hatta sudah basah. Bung Karno berkata pelan dan tangannya berusaha meraih lengan Hatta “Hoe gaat het met Jou?” kata Bung Karno dalam bahasa Belanda – Bagaimana pula kabarmu, Hatta – Hatta memegang lembut tangan Bung Karno dan mendekatkan wajahnya, air mata Hatta mengenai wajah Bung Karno dan Bung Karno menangis seperti anak kecil. Dua proklamator bangsa ini menangis, di sebuah kamar yang bau dan jorok, kamar yang menjadi saksi ada dua orang yang memerdekakan bangsa ini di akhir hidupnya merasa tidak bahagia, suatu hubungan yang menyesakkan dada.

Tak lama setelah Hatta pulang, Bung Karno meninggal. Sama saat Proklamasi 1945 Bung Karno menunggui Hatta di kamar untuk segera membacai Proklamasi, saat kematiannya-pun Bung Karno juga seolah menunggu Hatta dulu, baru ia berangkat menemui Tuhan.

Mendengar kematian Bung Karno rakyat berjejer-jejer berdiri di jalan. Rakyat Indonesia dalam kondisi bingung. Banyak rumah yang isinya hanya orang menangis karena Bung Karno meninggal. Tapi tentara memerintahkan agar jangan ada rakyat yang hadir di pemakaman Bung Karno. Bung Karno ingin dikesankan sebagai pribadi yang senyap, tapi sejarah akan kenangan tidak bisa dibohongi. Rakyat tetap saja melawan untuk hadir. Hampir 5 kilometer orang antre untuk melihat jenazah Bung Karno, di pinggir jalan Gatot Subroto banyak orang berteriak menangis. Di Jawa Timur tentara yang melarang rakyat melihat jenasah Bung Karno menolak dengan hanya duduk-duduk di pinggir jalan, mereka diusiri tapi datang lagi. Tau sikap rakyat seperti itu tentara menyerah. Jutaan orang Indonesia berhamburan di jalan-jalan pada 21 Juni 1970. Hampir semua orang yang rajin menulis catatan hariannya pasti mencatat tanggal itu sebagai tanggal meninggalnya Bung Karno dengan rasa sedih. Koran-koran yang isinya hanya menjelek-jelekkan Bung Karno sontak tulisannya memuja Bung Karno.

Bung Karno yang sewaktu sakit dirawat oleh dokter hewan, tidak diperlakukan dengan secara manusiawi. Mendapatkan keagungan yang luar biasa saat dia meninggal. Jutaan rakyat berjejer di pinggir jalan, mereka melambai-lambaikan tangan dan menangis. Mereka berdiri kepanasan, berdiri dengan rasa cinta bukan sebuah keterpaksaan. Dan sejarah menjadi saksi bagaimana sebuah memperlakukan orang yang kalah, walaupun orang yang kalah itu adalah orang yang memerdekakan bangsanya, orang yang menjadi alasan terbesar mengapa Indonesia harus berdiri, Tapi dia diperlakukan layaknya binatang terbuang, semoga kita tidak mengulangi kesalahan seperti ini lagi…..

Bung karno pernah tidak memiliki uang sepersenpun.


Siapa yang mengira Bapak Bangsa ini, Proklamator Kemerdekaan RI dan Presiden Pertama Republik Indonesia, menjelang akhir hayatnya mengalami hidup yang sangat memprihatinkan. Dikucilkan oleh penguasa Orde Baru dengan alasan yang tidak pernah dijelaskan, dipisahkan dari orang-orang yang dia cintai, diperlakukan seperti pesakitan. Pemimpin besar revolusi ini sakit bukanlah karena usianya yang memang sudah tua, karena pada saat dia dikucilakan tidak lama setelah penanda tanganan Supersemar, 11 Maret 1967., artinya saat itu usia beliau barulah 67 tahun. Pada 12 Maret 1967, keluar TAP MPRS XXXIII/MPRS/1967 yang melucuti kekuasaan eksekutif Bung Karno. Melalui TAP itu juga Soeharto diangkat jadi pejabat presiden.
Kisah yang memprihatinkan setelah kekuasaannya di lucuti diceritakan oleh bekas ajudan terakhirnya Bung Karno, Sidarto Danusubroto yang kala itu berpangkat adjun komisaris besar polisi (AKBP) ditugasi menjadi ajudan Bung Karno. Dia menggantikan Kombespol Sumirat yang ditahan pasca-Supersemar. Surat keputusan pengangkatan Sidarto ditandatangani Bung Karno pada 22 Februari 1967.
Bung Karno menceritakan pada sidarto tentang pengucilan tersebut, Bung Karno menyatakan bahwa dirinya bisa dikucilkan, dijauhkan dari keluarga, bahkan ditahan dan lama-lama akan mati sendiri. ’’Tapi, catat ya To, (Sidarto, Red), jiwa, ide, ideologi, semangat, tak dapat dibunuh,’’ ungkap Sidarto menirukan ucapan Bung Karno.
Meski Soekarno sudah tidak mempunyai kekuasaan, Sidarto tetap tidak ditarik dari posisinya sebagai ajudan. Sewaktu menghadap pimpinan Polri, dia diperintah agar terus mendampingi Bung Karno. ’’Pemerintah memandang Bung Karno perlu didampingi ajudan. Jadi, saya melayani presiden yang ditahan,’’ tuturnya.
Tapi, untuk sementara, Soekarno yang diposisikan sebagai ’’presiden nonaktif’’ masih diperbolehkan tinggal di Istana Merdeka. Sampai suatu hari, sekitar Mei 1967, Bung Karno yang didampingi Sidarto yang baru saja pulang dari jalan-jalan keliling Jakarta dicegat dan dilarang masuk istana. ’’Saya ingat, beliau habis nyate (makan sate, Red) sama saya di pinggir Pantai Cilincing,’’ cerita Sidarto.
Karena tidak diperbolehkan masuk istana, Bung Karno langsung menuju kediaman Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, Red) di Jalan Gatot Subroto. Karena mendadak, presiden pertama republik itu tidak sempat berkemas. ’’Barang-barang pribadi beliau sama sekali tidak bisa dibawa,’’ ungkap mantan Kapolda Sumbagsel (1986-1988) tersebut.
Terusir dari istana juga berarti kehilangan fasilitas protokoler, termasuk sekretaris presiden. Karena itu, Sidarto kemudian mendapat tugas tambahan baru, yakni jadi ’’sekretaris’’ Bung Karno. ’’Jadi, saya sempat jadi ajudan sekaligus sekretaris dadakan Bung Karno. Hasil ketikan saya ya kurang proporsional seperti ini,’’ katanya sambil menunjukkan sejumlah copy surat yang masih disimpan dengan rapi.
Sejak meninggalkan istana, sebagian besar surat Bung Karno malah ditandatangani Sidarto. Misalnya, surat yang ditujukan pada Pangdam VI Siliwangi Letkol Abas tertanggal 27 September 1967. Surat tersebut menginformasikan daftar nama para pekerja untuk penyelesaian rumah di Batu Tulis, Bogor.
Mengapa Bung Karno tidak menandatangani sendiri surat itu? ’’Ini kan soal teknis dan rutin dari presiden ke bawahan (Pangdam). Jadi, mungkin cukup ajudan saja yang menandatangani,’’ jelas pria kelahiran Pandeglang, 11 Juni 1936, itu.
Menurut Sidarto, tak lama setelah meninggalkan Istana Merdeka, Bung Karno tak ubahnya tahanan kota. Untuk mobilitas Jakarta-Bogor saja, Bung Karno harus mendapat izin tertulis dari Pangdam VI Siliwangi dan Pangdam V Djayakarta. Nah, tugas mengurus perizinan itu dibebankan ke pundak Sidarto.
’Jadi, tugas saya, bolak-balik mengurus exit permit dan entry permit. Jakarta-Bogor sudah kayak ke luar negeri saja,’’ ujar bapak lima anak itu sambil geleng-geleng kepala.
Pada penghujung Desember 1967, Bung Karno mulai berstatus tahanan rumah. Dia tak boleh lagi meninggalkan Wisma Yaso. Bahkan, keluarga dan kerabat sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.
Dalam periode susah seperti itu, Sidarto kembali mendapat pengalaman yang tak terlupakan. ’’Saya disuruh ke sana-kemari mencari duit. Sebab, Bung Karno tidak pegang duit,’’ katanya.
Menurut dia, Bung Karno memang seorang negarawan yang genius. Namun, soal keuangan pribadi, dia tak begitu memperhatikan. Karena itu, saat jadi tahanan rumah, Bung Karno sering kehabisan uang pegangan maupun uang untuk biaya hidup sehari-hari.
’’Sewaktu disuruh mencari duit itulah, saya sempat bingung dari mana bisa memperolehnya. Sebab, orang-orang dekat Bung Karno sewaktu saya dekati malah lari semua. Mereka takut. Hanya satu-dua orang yang masih setia,’’ ujar Sidarto.
Suatu ketika, Bung Karno meminta Sidarto menemui Tukimin, mantan pejabat rumah tangga Istana Merdeka. Tanpa kesulitan berarti, Sidarto berhasil mendapatkan USD 10 ribu dari Tukimin.
Kesulitan justru terjadi saat hendak membawa uang itu ke Wisma Yaso. Sidarto takut digeledah penjaga, kemudian uangnya disita. Tak kehilangan akal, dia lalu memasukkan uang tersebut ke kaleng biskuit. Dia lantas menemui Megawati dan meminta putri Bung Karno itu membawakannya untuk Bung Karno. ’’Mbak Mega yang bawa masuk. Mbak Mega kan bisa beralasan mengunjungi ayahandanya,’’ kenang Sidarto.
Pada 23 Maret 1968, turun surat resmi dari Markas Besar Angkatan Kepolisian (saat ini Mabes Polri, Red) yang berisi penarikan Sidarto dari posisinya selaku ajudan Bung Karno. ’’Saat kondisi kesehatan Bung Karno semakin lemah, fungsi ajudan semakin tidak diperlukan. Yang lebih dibutuhkan adalah dokter dan perawat. Saya lalu diminta Panglima Angkatan Kepolisian (saat ini disebut Kapolri, Red) Soetjipto Joedodihardjo untuk ditarik,’’ jelasnya.(Tulisan kisah ini sepenuhnya saya copas dari tulisannya Sdr. Abdul syair di Blog Kumpulan Pikiran.)
Membaca kisah diatas, betapa Bung Karno sampai akhir hayatnya tidaklah memiliki apa-apa. Sebagai penguasa selama 32 tahun semua yang dimilikinya adalah fasilitas negara, dan begitu beliau tidak berkuasa lagi semua fasiliutaspun ditarik kembali oleh pemerintah yang berkuasa. Sangatlah kontras dengan pejabat dimasa Orde Baru dan Orde Reformasi ini, yang bergelimang fasilitas juga kekayaan harta. Ketulusan pengabdian sangat jauh dari harapan, selalu merasa kekurangan dengan segala fasilitas yang sudah diberi. Harta dan kekayaan serta kemewahan dijadikan alat untuk bergengsi, standar kehormatan dinilai dari pangkat dan jabatan, bukanlah dari akhlak dan budi pekerti.


SUPERSEMAR yang misterius.
1299789296749109214
Tanggal 5 Oktober 1965, Duta Besar AS, Marshall Green mengirim telegarm berisi analisa mengenai keadaan Jakarta, mengutip isi telegram, “…. Propek Indonesia setelah kudeta berlangsung kami ramalkan sebagai berikut, Sukarno masih akan tetap menjabat presiden. Tetapi kekuasaannya mungkin telah melemah sebab dia harus melakukan kompromi dengan Angkatan Darat. Banyak hal masih tetap meragukan, tetapi hampir bisa dipastikan, perjuangan untuk menyingkirkan Sukarno dan apa yang selalu disebut Demokrasi Terpimpin telah dimulai….”
Ramalan tersebut tidak meleset.


1299790080529933868Tanggal 11 Maret 1966, Sukarno menandatangani surat perintah kepada Jenderal Suharto, Menteri Panglima Angkatan Darat. “Atas nama Presiden, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan serta jalannya Revousi. Menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi….

Awal Agustus sepucuk surat dengan alamat tertuju, Ir. Sukarno, Istana Bogor. Isinya Soekarno dan semua putra-putrinya diminta Soeharto untuk meninggalkan Istana sebelum 17 Agustus 1967. Soekarno meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967. Beliau memakai celana piama warna krem serta kaus oblong cap Lombok. Bajunya disampirkan di pundak, memakai sandal Bata sudah usang. Tangan kanannya memegang koran, digulung agak besar, berisi bendera pusaka Sang Saka Merah Putih.

Begitulah dasyatnya Surat Perintah Sebelas Maret yang populer dengan sebutan Supersemar. Hanya dalam kurun waktu 18 bulan, Presiden Seumur Hidup tersebut lengser, terusir dari istananya, dengan kondisi yang mengenaskan.

Soekarno duduk di mobil terkantuk kantuk. Seorang lelaki berumur 65 tahun yang meluncur terseok seok di jalanan Jakarta.
1299788476361733933

Kelahiran Supersemar.
12997894402130956494
Basuki Rachmat
Basuki Rachmat, Jusuf dan Amirmachmud mendatangi presiden Soekarno di Bogor. Pukul 16.00 lebih, disambut Soekarno dengan muka masam. Raut masam ini tak lain karena Soekarno merasa dibohongi dengan informasi RPKAD telah mengepung Istana Jakarta.
Suasana mulai mencair saat Jusuf meyakinkan Soekarno bahwa Angkatan Darat akan selalau menjaga keselamatan Bung Karno. Kemudian disampaikan juga bahwa Jenderal Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat juga sudah berjanji sanggup untuk mengatasi keadaan asal diberi penugasan secara jelas berikut dukungan kepercayaan.

Terbujuk, Bung Karno lantas membentuk semacam tim untuk menyusun surat penugasa kepada Jenderal Soeharto. Tim terdiri dari Basuki Rachmat sebagai ketua, Jusuf anggota dan Sabur sekretaris. Rumusan tulisan tangan yang mereka buat diserahkan kepada presiden Sukarno. Setelah dibaca sejenak, presiden memanggil Soebandrio, Leimena dan Chaerul Saleh untuk memberikan tanggapan. Pengakuan Hartini salah satu istri Sukarno, presiden saat itu bolak balik membaca rancangan tersebut dengan tangan gemetar.

Chaerul Saleh memberikan komentar, ‘berdoalah dulu, …. Mohon petunjuk Tuhan
Leimena, “No comment, semuanya terserah pertimbangan anda
Soebandrio, “ Jika surat ini sudah ditandatangani, sama saja artinya kamu masuk perangkap
12997900071571992895
Setelah beberapa kali docoret sana sini oleh Bung Karno, akhirnya naskah Supersemar itu dibawa Kolonel Udara Kardjono, ajudan presiden untuk diserahkan pada Mayor (Inf) Ali Ebram, perwira Seksi I Tjakrabirawa, untuk diketik. Komentarnya, “… saya sendiri merasa ngetik-nya agak lama, karena tidak biasa ngetik dan isinya ketika sudah mulai saya baca, kok serem….”

Surat selesai diketik, dikembalikan ke Soekarno. Sabur masih berkomentar, “… secara administratif, surat ini memang punya kekeliruan. Karena kata pertama pada lembar kedua, tidak tercantum pada baris terakhir halaman pertama, sebagaimana kebiasaan surat resmi….”

Eli Ebram kaget, karena merasa itu kesalahannya.
Amirmachmud sudah ngebet, “… sudahlah, dalam revolusi kita tidak usah njlimet.”
Bung Karno sendiri ragu, “Bagaimana Bandrio, kamu setuju?”
Soebandrio menjawab, “…. Bagaimana lagi, bisa berbuat apa saya? Bapak telah berunding tanpa kami diikutkan…”
Tetapi kamu setuju…?” Bung Karno mulai tak sabar.
“…kalau bisa, sebenarnya perintah lisan saja…”
Ketiga Jenderal yang ada disana, langsung melotot kepada Soebandrio, begitu pengakuannya.
Amirmachmud lantas menukas, “ Bapak Presiden, tandatangani saja. Bismillah saja, Pak?”

Supersemar ditandatangani saat itu di ruang tengah Istana Bogor, Jawa Barat. Pada akhir surat di atas tandatangan Sukarno, tanpa disadari oleh semua yang hadir, ada kesalahan lagi, tertulis Djakarta, 11 Maret 1966.

Sebelas orang ikut bersama Presiden Sukarno saat penandatanganan Supersemar, mereka adalah;Soebandrio, Leimena, Chaerul Saleh, Basuki Rachmad, Jusuf, Sabur, Amirmachmud, Mangil, Kardjono, Hartini dan Ibrahim Adjie.

Pertemuan berakhir pukul 20.55. Ketiga Jenderal menolak ajakan presiden Soekarno untuk bermakan malam di Istana Bogor. Isi surat perintah sebelas Maret itu seperti di atas. Proses pembuatannya sangat alot, diselingi sholat Maghrib dan beberapa kali pembicaraan nyaris mengalami kemacetan.

12997901241199432057Tanggal 12 Maret 1966, pukul 04.00 dini hari, Soeharto membubuhkan tandatangannya pada Surat Keputusan Nomor 1/3/1966 tentang pembubaran PKI, termasuk semua oraganisasinya, dari tingkat pusat sampai daerah, beserta semua oraganisasi massa yang seasas, berlindung dan bernaung di bawahnya. Selain itu, menyatakan PKI sebagai Partai Terlarang di seluruh Indonesia. Surat keputusan tersebut ditandatangani Soeharto, atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi.

Itulah langkah paling keras yang dihasilkan Supersemar yang baru berusia 1 hari. Sebenarnya surat pembubaran PKI itu bisa diumumkan di berita pagi tanggal 12 Maret 1966. Namun Soeharto masih mempertimbangkan agar presiden Soekarno masih berkesempatan mengumumkan Supersemar dalam Rapim ABRI. Kemudian setelah Rapim selesai dan Soekarno sudah terbang ke Bogor, pukul 14.00 WIB, keputusan mengenai pembubaran PKI diumumkan lewat warta berita RRI Pusat.

Pengumumam itu dilaksanakan sengaja bersamaan dengan tengah berlangsungnya pawai mahasiswa, bersama RPKAD dan pasukan Kostrad, berkeliling Jakarta. Langkah ini diambil agar pengumuman dilakukan setelah Soekarno tidak lagi berada di Jakarta.
Presiden Soekarno sampai di Istana Bogor disambut Hartini, istrinya.
Mas, apakah anda masih presiden?” Hartini was was suaminya dikudeta.
Dengan nada mantap Bung Karno menjawab,”… Saya tetap presiden karena Soeharto telah memberikan jaminan terhadap keamanan saya dan keluarga, serta ajaran ajaran Bung Karno
Bung Karno marah setelah mendengar tindakan pembubaran PKI yang dilakukan Soeharto tanpa konsultasi dengannya. Merasa dikadali dan dikelabui oleh Supersemar yang ditandatanganinya sendiri. Bung Karno berkeras Soeharto sudah menafsirkan surat tugasnya secara keliru.

Tanggal 13 Maret 1966 presiden mengeluarkan surat perintah susulan, berupa Penetapan Presiden, isinya memerintahkan untuk kembali kepda Pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar revolusi dengan arti, melaksanakan secara teknis saja dan tidak mengambil dan melaksanakan keputusan diluar bidang teknis. Penetapan tersebut disampaikan langsung oleh Leimena, Wakil Perdana Menteri II, kepada Jenderal Soeharto, dilengkapi pesan lisan, “… jangan sekali-kali mengambil keputusan di luar bidang teknis militer.”

Soeharto menjawab, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, semua tindakan yang saya lakukan merupakan tanggung jawab saya pribadi…” Soeharto lebih lanjut mengaku dia sengaja menolak permintaan Bung Karno dengan alasan, dalam Supersemar tercantum kalimat, “….untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan serta jalannya Revousi…”
12997898511630820964
Apakah ini asli?

Keberadaan Supersemar
1299789924833364168Kontroversi atas perintah Pembubaran PKI atas dasar Supersemar ini menjadi polemik di kemudian hari. Takut jika sewaktu waktu Bung Karno mencabut Supersemar tersebut, status Supersemar ditingkatkan lewat Keputusan MPRS. Meski demikian, kontroversi tetap berlangsung, karena surat yang asli sampai sekarang tidak pernah ditemukan.

Kemal Idris dalam memoarnya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi (1996) menyebutkan kewajiban mengembalikan kekuasaan ke tangan Bung Karno sebagai Presiden RI setelah tugas dilaksanakan, sebuah poin yang tak ada di dalam ketiga versi surat perintah tersebut.
Saya sempat membaca surat itu, yang memberikan kekuasaan kepada Pak Harto untuk bertindak mengamankan situasi. Setelah tugas dilaksanakan, kekuasaan dikembalikan kepada Bung Karno sebagai Presiden RI. Surat itu dikenal dengan nama Supersemar...” (hal.310)

Supersemar yang demikian dasyat dampaknya bagi perkembangan NKRI ini, sampai hari ini masih saja tetap misteri. Baik Penandatangan maupun Penerimanya juga sudah berpulang. Secara pribadi maunya jangan dan tak usah diributkan lagi. Namun secara kenegaraan, adalah sangat ‘menjengkelkan’ bila surat sepenting itu bisa hilang dari Arsip negara.

Semoga saja dengan membaca tulisan ini kita bisa mengambil hikmah dan manfaat dari sejarah. Mempelajari sejarah masa lalu bukanlah sesuatu yang salah. Mencari kebenaran fakta sejarah adalah merupakan kewajiban generasi penerus Bangsa, karena Bangsa yang besar adalah Bangsa yang menghargai sejarah bangsanya.

Tidak ada komentar: