Jumat, 13 Mei 2011

Musisi Indonesia vs Musisi Malaysia: Mengapa Harus Ada Saling Sinis?



ADA APA Indonesia dan Malaysia? Dua negara yang sering disebut-sebut serumpun ini [maklum, dari banyak dialek, budaya sampai model manusianya], makin hari justru makin menemukan tempat untuk saling "menghantam' di berbagai bidang. Entah apa persoalannya, tapi ngomong-ngomong soal nasionalisme ini, merembet ke semua bagian termasuk musik.

Awal tahun 80-an, sebenarnya Malaysia sempat"menjajah" Indonesia lewat artis-artisnya. Ketika itu nama-nama seperti Amy Search, Saleem Iklim, Exist, Wings, Ella, Sheila Madjid, benar-benar merajai ranah musik Indonesia. Terganggu? Jelas, tapi toh tidak membuat musisi Indonesia "kebakaran jenggot" dan memblokir semua lagu Malaysia.

Belajar dari pengalaman itu, kemudian bermunculan musisi Indonesia yang "meningkatkan" kualitas dan skil bermusiknya. Hasilnya, masuk 90-an hingga kini, musisi Indonesia benar-benar menjadi "raja" di negeri sendiri. Tak cuma itu, Malaysia, Brunei, dan Singapura pun kemudian mencari incaran musisi Indonesia. Selain karena lagu-lagunya berbahasa yang nyaris sama, secara musikalitas "gerak vokal melayu' lebih kena di telinga penikmat musik di negara-negara itu.

Serangan balik awalnya memang tak dianggap sebagai ancaman. Tapi ketika makin banyak band Indonesia sukses di negara-negara tersebut, hingga band-band lokal agak "terpinggirkan" kemudian pentolan-pentolannya "berteriak" keras.

Yang paling nyaring tentu saja Malaysia. Pentolan musik Malaysia seperti Amy Search dan Hattan mempersoalkan banyaknya grup musik Indonesia melakukan konser dan menjual albumnya ke Malaysia. Keduanya menilai bahwa kalau dibiarkan terus maka musik dan budaya Indonesia akan menjajah Malaysia.

Pernyataan itu memang "mengagetkan" lantaran Amy-lah yang dulu "menjajah" musik Indonesia. Tapi kini meman berbalik. Dalam banyak konser artis atau band Indonesia, grup band dan penyanyi Malaysia hanya menjadi artis pembuka.

Kemudian ketika Ungu melauncing albumnya di Malaysia, vokalis grup musik Sofas dari Malaysia sempat mengatakan ada "perang" antara grup musik Indonesia dan Malaysia. Jawaban itu sempat membuat Pasha agak kaget dan tidak enak.

Serbuan musisi Indonesia sudah tentu membuat penyanyi Malaysia cemburu. Nama-nama seperti Ungu, Radja, Letto, Rossa, Krisdayanti, Sheila on 7, Titi DJ atau SamsonS misalnya, lebih dikenal dan hitsnya meledak melebihi artis Malaysia sendiri.

Entah karena makin tergesernya penyanyi Malaysa itu sendiri atau karena sebab lain, akhirnya memuncak ketika Persatuan Penyanyi dan Pencipta Lagu Malaysia (Papita) memprotes seringnya radio swasta di negeri itu memutar lagu Indonesia. Mereka lewat Presiden Papita, M Daud Wahid, seperti dikutip situs Berita Harian, Selasa [18/9/2007], mengatakan, sudah menunjuk pengacara untuk membuat surat gugatan atas surat bantahan para pengusaha radio swasta.

Dalam suratnya, Papita akan menyatakan kekecewaan terhadap radio swasta yang lebih sering memutar lagu Indonesia dibandingkan lagu Malaysia.

"Apabila memorandum itu siap, Papita akan menyerahkannya kepada Kementerian Tenaga, Air, dan Komunikasi dan ahli Parlemen supaya isu penyiaran lagu dari Indonesia yang mendapat keutamaan oleh radio swasta diberikan perhatian dengan sewajarnya," kata M Daud Wahid sebagai dikutip harian itu.

Daud mengatakan, untuk saat ini, Papita tidak akan membuat rundingan atau perbincangan dengan organisasi musik Indonesia.

Yang mengejutkan, pernyataan Daud yang mengatakan istilah Malaysia dan Indonesia punya hubungan budaya serumpun hanyalah retorik saja. "Hal itu itu hanya satu konsep yang menarik di atas kertas tetapi secara praktiknya negara Malaysia yang lebih banyak mengalah dengan karyawan seni dari negara seberang," katanya.

Persoalan ini menjadi menarik, karena melibatkan industri musik dua negara. Memang harus diakui, ketika penyanyi Malaysia mencoba "menyelip" di ranah musik Indonesia, nyaris tidak banyak yang terdengar. Hanya Siti Nurhaliza saja yang sekarang masih punya banyak hits. Selebihnya, nyaris tak terdengar.

Mengapa begitu? Kalau dihubungkan dengan nasionalisme, tentu Indonesia bakal "menepuk dada" lantaran artisnya laku keras di Malaysia. Tapi kita juga harus melihat dari banyak sisi. Dari kapabilitas, banyak musisi Malaysia sendiri yang mengakui, Indonesia secara progress perkembangannya lebih cepat dibanding musisi Malaysia sendiri. "Saya hormat dengan musisi Indonesia," kata Dayang Nurfaizah ketika sempat ngobrol dengan TEMBANG.com beberapa waktu lalu.

Ada aksi, pasti ada reaksi. Seorang pedangdut bernama Camelia Malik malah sempat mengatakan, "Semua kegiatan yang terkait dengan Malaysia harus kita hentikan, termasuk konser Siti Nurhaliza. Itu bentuk nyata protes kita atas Malaysia yang menolak minta maaf," tegasnya ketika berdemo soal wasit karate yang digebuki polisi Malaysia.

Bagaimana baiknya? Seame tidak akan ngompori supaya musisi Indonesia ikut-ikutan boikot musisi dan artis Malayia.karna seamee juga kelahiran malaysia...(hehehe..piss) Di era informasi seperti sekarang, batasan-batasan seperti itu rasanya menjadi percuma juga. Yang bijak adalah saling belajar. Ketika musisi Malaysia masuk, musisi Indonesi belajar bagaimana caranya membuat lagu dan aransemen yang enak didengar tanpa meninggalkan kualitas. Memang tidak sebentar, tapi toh bisa mengejar. Seharusnya musisi Malaysia juga berpikir untuk belajar yang sama. Bukan malah mengobarkan "perang" seperti yang dikatakan musisi disana.

Perang dalam segala bentuknya gampang, tapi efeknya "nggak enaknya" panjang. Lebih bauk saling belajar bukan? Tidak sederhana ngomongnya memang, tapi kalau tidak dicoba, kita tidak pernah tahu hasilnya. Hari gini "peraaaang".......

Tidak ada komentar: